KEBUN ANGGUR

Bunyi tiap riak airnya, menyejukkan dahagaku
lalu kugeser sedikit daunku dan kuangkat ranting kecilku
hanya untuk bisa melihat wajahnya, peluhnya
meski dia segan berpaling menatapku
tapi biarkanlah aku berharap,
berharap untuk merasakan sentuhannya
berharap untuk dipetik dan dimasukkan ke dalam keranjangnya
sungguhpun aku heran...
apa dia tak melihat bahwa aku sudah matang?
Apa kulitku masih kurang ungu untuk dipetik?
Tidakkah dia mengerti, aku sudah bosan disini?
Hanya tinggal ulat-ulat di sekelilingku,
tolonglah, ulat-ulat ini akan membunuhku.!
Baiklah kawan, mungkin kau bertanya-tanya, siapa aku?
Akulah sang anggur yang meski telah ranum buahnya,
meski telah ada di depan matanya,
tak kunjung juga aku dimasukkan dalam keranjangnya
dan kini, setelah puluhan telur ulat itu di sekelilingku,
akhirnya aku mengerti alasanmu tak memetikku
karena aku bukanlah pohon anggurmu

SANG PUTIH ABU-ABU

Kutenteng keranjangku dan kuambil sebatang besi yang bengkok sebagai peralatanku. Kumelangkah meninggalkan gubukku menuju ke arah matahari itu. Panasnya kian membara tapi semangatku masih biasa saja. Kau tahu kenapa? Sebenarnya aku bertanya- tanya. Apakah benar, hakku untuk mendapatkan pendidikan adalah mustahil? Benarkah janji-janji orang atas itu? Benarkah di tahun 2009 ini akan ada sekolah gratis? Kenapa nasibku hanya berakhir di tumpukan sampah ini? Sampai kapan aku harus mengais smpah-sampah ini demi lima orang dalam gubuk reyot itu? Kalau kau ingin tahu kawan, inilah kisah hidupku. Seorang anak dekil yang hanya lulusan SMP. Bahkan nasibku pun tak lebih baik dari kucing rumahan yang setiap hari disuguhi ikan oleh majikannya. Ibuku telah tiada, sedangkan ayahku dan aku harus mati-matian mengais sampah dari pagi hingga sore demi pendidikan ketiga adikku. Pikirku, biarlah adik-adikku menikmati masa-masa sekolahnya, karena cepat atau lambat tak perlu diramalkan, nasibnya akan sama sepertiku. Mungkin kau berpikir bahwa aku kejam, tapi inilah hidup!

Pagi ini, giliranku untuk mengais sampah di sebelah gedung mulia itu, SMA Bakti Nusa. SMA ternama di kota Semarang. Sebuah sekolah yang pernah menjadi impianku. Namun, akhirnya impianku malah hilang tertumpuk plastik dan kaleng-kaleng yang harus kukais. Aku melangkah ke sampipng gedung, berharap ada kertas-kertas semen atau apapun yang bisa menghasilkan uang. Dari samping gedung, aku bisa mendengar suara seseorang yang tak kalah mulianya, yang mereka panggil sebagai” guru”. Sepertinya menyenangkan sekali berada di sana, duduk dalam bangku yang bagaikan singgasana dan dikelilingi buku-buku dengan jutaan ilmu di dalamnya. Lalu, kuberanikan diriku melongok ke dalam ruang itu melalui sebuah jendela kecil. Sungguh, hatiku berdebar melihat mereka semua. Memakai seragam putih abu-abunya, mereka tampak gagah, berwibawa hingga pantas kusebut mereka sebagai “Sang Putih Abu-Abu.”

Tak lama kemudian kuketahui, bahawa mereka sedang belajar bahasa Indonesia. Mereka memanggil gurunya itu Pak Wiryo. Masih muda dan terlihat berpendidikan. Beliau punya kharisma yang membuat muridnya segan dan hormat padanya. Aku memang bukan muridnya, tapi aku bisa merasakannya! Hampir tak berkedip aku dibuatnya. Kata-katanya menggelegar, “Anak-anakku! Janganlah kalian hanya berdiam! Ruang kelas kalian adalah seluruh dunia! Jangan batasi ilmu kalian hanya dalam ruang sempit 8x8 ini! Jangan biarkan pagar-pagar ini membuat kalian terkurung dalam gelap, merangkaklah keluar dan pergilah ke ujung-ujung dunia! Taklukkanlah itu!” Sungguh, kata-katanya menjadi meriam bagiku, letupannya lebih besar dari bom bali atau letupan bom atom di kota Hiroshima sekalipun. Kini, aku merasa bisa menyaingi semangat sang matahari, aku tahu harapanku untuk terus belajar masih ada! Aku tahu, dunia masih menungguku untuk menaklukkannya!

Kini, setiap pagi aku kembali melangkah menyongsong sang matahari. Dengan semangat baru dan harapan baru. Aku merasa sebagai orang paling sibuk. Bangun pagi sebelum sang matahri terjaga. Aku rela menjadi kuli panggul di pasar pagi. Lalu, aku harus bersiap untuk mengintip pelajaran demi dunia yang masih menungguku. Siangnya, aku masih harus melanjutkan tugas lamaku. Mengais sampah demi sesuap nasi. Tapi sudahlah, aku sudah cukup puas. Meski aku tak berada dalam ruang mulia itu, meski aku tak memakai seragam putih abu-abu, tapi aku masih mampu untuk mendengarkan tiap kata-kata dan huruf-huruf yang mengalir dalam tiap waktu di ruang itu.

Untuk yang kesekian kalinya, aku kembali ke gedung mulia itu. Aku merasa semakin terbiasa dengan situasi ini, belajar dan bekerja. Aku masih bisa membantu ayahku tapi juga mencoba menaklukkan duniaku. Kembali kulongokkan kepalaku dari jendela kecil itu. Betapa meletupnya hatiku, pak Wiryo hadir kembali dalam ruang itu. Meriam apa lagi yang akan diletupkannya? Aku tak sabar menunggunya, tapi sungguh sial! Seekor kucing baru saja menggangguku hingga membuatku terjatuh, ”Bruuuk..!!” Aku menimpa tumpukan kaleng-kaleng di bawahku hingga terdengar bunyi keras. Kucoba berdiri dan kembali ke jendela kecil itu. Tapi saat kullihat ke dalam, ternyata semua mata telah memandang ke arahku! Aku sangat terkejut, apalagi saat Pak Wiryo datang ke arahku dan menyuruhku masuk. Bukan lewat jendela lagi, tapi pintu gerbang! Aku merasa sangat terhormat, tapi sekaligus canggung, bayangkan saja, seorang anak dengan baju compang-camping berani masuk ke dalam wilayah gedung mulia.

Setelah berputar-putar sebentar, aku menemukan ruang kelas Pak Wiryo. Ternyata beliau sudah menuggu kedatanganku. Setelah mengucapkan salam, ia mempersilakan aku masuk. Aku masih sangat canggung apalagi melihat tatapan ”para putih abu-abu” yang memandangku dengan jijik. Tapi Pak Wiryo menyadari itu dan mulai menghangatkan suasana. Ia bertanya padaku, kenapa aku ada di balik jendela itu. Aku katakan padanya, ”Saya sadar bahwa saya tidak dapat duduk di bangku kelas ini, jadi cukuplah saya mengintip ilmu-ilmu saya dari jendela itu. Saya hanya ingin menjalankan nasehat bapak, saya ingin menaklukan dunia!” seketika raut muka Pak Wiryo dan ”para putih abu-abu” berubah. Tersungging senyum di bibir mereka. Aku mendengar tepuk tangan salah satu dari mereka, lalu bertambah menjadi tiga hingga akhirnya seisi kelas memberiku standing applause. Aku tak menyangka seperti ini jadinya. Pak Wiryo langsung menyalamiku. Beliau memintaku untuk datang ke rumahnya sore ini.

Sungguh, meriam Pak Wiryo di sore ini tidak tanggung-tanggung. Bom ini terus meledakkan semangatku. Apalagi saat kudengar kata-kata yang membuncah hatiku. Pak Wiryo akan membiayai pendidikanku di SMA Bakti Nusa! Seragam putih abu-abu-nya dulu, kini ada di tanganku. Bagiku itu sebuah jubah kemuliaan, sudah lama kuimpikan dan sekarang akhirnya menjadi kenyataan. Sungguhpun, beliau bagai malaikat yang hadir dalam dunia modern ini.

Matahariku kini benar-benar bersinar kembali. Kutemukan hari-hariku dalam gedung mulia itu. Bukan dari jendela lagi, melainkan dalam ruang mulia dengan bangku sebagai singgasananya. Aku merasa bagai pesawat jet yang melesat dengan kecepatan maksimum, yang telah melewati lapisan-lapisan atmosfer dan hendak menuju ke bintang cita-citaku. Aku akan mengelana, menjelajahi sudut-sudut dunia dan menaklukkannya. Akan kupersembahkan ilmuku untuk Indonesiaku. Tak akan kubiarkan nasib anak-anak Indonesia di masa depan hanya berakhir di tumpukan sampah. Tak ada lagi anak pemulung yang mengintip dari jendela demi setetes ilmu dunia.

Akhirnya setahun sudah, aku duduk disini. Sudah kuketahui ilmu-ilmu yang dlu sama sekali tak terbaca olehku. Aku sudah tahu apa itu evolusi dan revolusi. Aku tahu kenapa atom-atom bisa bergabung membentuk molekul, lalu sel, jaringan dan seterusnya hingga terciptalah biosfer yang maha besar ini.

Besuk aku akan menerima hasil belajarku. Tunggulah ayahku, akan kutunjukan padamu nilai-nilai cemerlangku. Aku berjanji tak akan mengecewakanmu. Akan kubuktikan pada dunia ini, seorang pemulung juga bisa mengukir prestasi.

Sebentar lagi, ayahkku akan datang. Aku sudah menunggunya di depan gerbang sekolah demi sebuah senyum kebanggaan. Meski bajunya compang-camping, meski badannya bau matahari, meski yang ditentengnya keranjang sampah bukan tas-tas bermerk, tapi aku tak akan malu! Aku justru bangga, karena tak ada anak lain di sekolah ini yang juga seorang pemulung. Ingin sekali aku berteriak, ” Inilah kami, sebuah keluarga pemulung yang tidak punya apa-apa! Yang hanya punya impian! Tapi kami ingin bangkit, tak tahan kami terus diinjak-injak!”

Aku masih berdiri disini. Sinar matahari tak menyurutkan semangatku untuk menyambut Ayah di depan pintu gerbang. Tetes-tetes keringat mengucur dari pori-pori ku, tapi belum kulihat baju compang-camping atau keranjang samaph ayahku. Yang kulihat masih ibu-ibu dan bapak-bapak berbaju rapi yang menenteng tas-tas bermerk luar negeri. Akhirnya, kulihat juga seorang pria yang wajahnya menggambarkan garis-garis pengorbanan, tampak polos tapi juga memperlihatkan sebuah ketegaran. Tapi tak sesuai dugaanku, ayahku tak lagi memakai baju compang-campingnya! Tak dibawa juga keranjang sampahnya! Kali ini, khusus untuk menerima hasil belajarku, dia memakai kemeja! Meski lusuh, tapi inilah baju terbaik yang beliau miliki.

Ayahku yang ada di seberang jalan tampak tersenyum melihatku. Ayahku mulai melangkah, tapi... ”Oh, tidak!!” sebuah mobil dengan kecepatan sangat tinggi tiba-tiba saja muncul dan menabrak ayahku. Ayahku terpental jauh dari tempatnya berdiri tadi, tapi mobil itu terus saja lari. Aku ingin teriak dan berlari tapi tubuh ini seakan terkunci. Aku terjatuh lemas di depan gerbang memandang orang-orang yang mengerubuni tubuh lemas ayahku.

Ayahku meninggal di temapt. Pelakunya melarikan diri. Tak pernah aku berpikir, ayahku akan meninggalkanku tepat di depan mataku, saat terakhir kali ia tersenyum bangga padaku di hari bersejarah yang harusnya mengubah hidup kami. Kenapa Tuhan seakan tak rela memberikan kebahagiaanya untukku? Kenap aku hanya bisa melihat senyumnya dalam kemeja pinjaman yang pertama dan terakhir kalinya dipakai? Kenapa tak ada firasat atau pesan apa pun?

Sudah tiga hari, aku tidak masuk sekolah. Aku merenung memikirkan apa yang akan kulakukan tanpa ayahku. Hanya aku sendiri yang mampu menghidupi adik-adikku. Hari ini, akhirnya kudapatkan keputusan dan kusampaikan keputusanku ini pada teman-temanku juga guru muliaku, Pak Wiryo, ” Kalian pasti sudah tahu, ayahku meninggal. Tak ada lagi yang bisa menghasilkan uang di keluargaku kecuali aku. Aku tak bisa jika terus berada disini. Keluarga ku membutuhkanku. Kini, impianku akan kukubur lagi, maafkan aku dunia, aku tak bisa datang padamu. Maaf, setelah kau menungguku, aku malah berhenti dan berbalik mundur.” Lalu kusampaikan ucapan terimakasihku pada mereka semua, terutama Pak Wiryo yang telah melambungkan anganku meski aku menjatuhkannya kembali. Bagaimanapun, mereka telah berjasa besar bagiku. Aku menyalami mereka satu persatu. Lalu sampailah aku di depan Pak Wiryo. Aku memeluknya erat. Dalam setiap tetes air mata kami, ia sempat berpesan, ” Ingat, ruang kelasmu adalah seluruh dunia! Kau telah berhasil merangkak keluar, terbanglah! Karena dunia masih menunggumu, nak! Jangan putus asa, karena waktu terus berjalan dan kau tak bisa tinggal diam!”

Kembali, kata-kata Pak Wiryo mengubah semangatku. Jasanya tak akan kulupakan. Sungguh, berat rasanya meningalkan ruang-ruang dalam gedung mulia ini, meninggalkan sang putih abu-abu dan bangku singgasana ku. Namun, hidupku yang baru harus kutempuh. Aku akan mencari kota yang lebih kecil, yang lebih murah untuk kami berempat. Aku harus menamatkan pendidikan adik-adikku setinggi mungkin. Kini aku sadar, aku tak boleh membiarkan nasib mereka persis sepertiku. Ini tanggung jawabku! Kata-kata Pak Wiryo membuatku bersyukur pada Tuhan. Aku salah mengira bahwa Tuah tak rela memberiku kebahagiaan. Aku tahu, Tuhan punya rencana. Kebahagiaanku akan tiba di tengah-tengah kesehidhan ini, karena aku akan lebih merasakan nikmatnya.

Kini, kumulai membuka lembaran baru hidupku. Entah sampai berapa halaman. Tapi yang jelas, akan kukatakan pada dunia,” Dunia, sambutlah aku, Amir Aminudin! Baik sebagai pemulung atau kuli panggul! Aku tak akan timggal diam, karena waktu terus berjalan! Aku tahu, engkau masih menungguku.!”