Harus Dibaca!!!

buat temen2 cmw nya.. lam kenal ja ya..
q ganesh dari Ambarawa, aku d'bieterz sejati lho,.
di blog ini ada banyak informasi soal obiet juga kumpulan puisi dan cerpen
xan juga boleh download lagu2 obiet dari sini,..
sering-sering ya ke blog q..!!
Lagi..Lagi..Lagi....LAaagiiii.......

MALAIKAT TAK BERSAYAP


Kain putih pertanda berita duka menghiasi halaman rumahku. Saat itu aku belum mengerti apa yang terjadi. Tapi setelah aku beranjak remaja, aku tahu bahwa saat itulah ibuku meninggal. Perjuangannya untuk melahirkan adikku berakibat pada kematiannya sendiri. Sembilan bulan mengandung adikku, ibu gunakan untuk bekerja keras membantu ayah bekerja. Hal inilah yang mengakibatkan kandungan ibu tidak sehat. Ketika itu, keadaan ekonomi kami sangat sulit. Ayah baru saja di-PHK dari pabriknya. Untuk mencari pekerjaan di wilayah pinggiran kota seperti ini bukanlah hal yang mudah. Untung saja masih ada orang baik yang mau membantu kami, ayahku diminta untuk menjadi buruh tani. Memang, gajinya tak seberapa tapi cukuplah untuk makan kami bertiga saat itu.

Ibu melahirkan adikku dibantu oleh penduduk sekitar, tanpa bidan, dokter ataupun perawat. Penanganan medis yang kurang membuat ibuku tak sanggup bertahan. Adikku lahir dan terlihat normal. Hari demi hari berlalu, hingga tiga tahun adikku hidup di dunia ini. Aku dan ayahku heran, adikku belum bisa bicara juga... Hingga usianya 5 tahun, ayah melihat keanehan di wajah adikku. Ayah menyadari adikku mengalami cacat mental. Bicaranya kurang jelas, dia tak bisa berpikir normal seperti anak lain. Saat anak-anak seusianya sudah bisa mengenal namanya sendiri, adikku belum bisa mengucapkan satu patah kata pun dengan jelas. Tuhan menunjukkan kuasanya pada keluarga kami. Tuhan memang murah hati tapi kadang juga tidak adil.

Ayah memutuskan untuk menyekolahkan adikku pada usianya yang ketujuh. Adikku bersekolah di suatu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sebenarnya tidak terlalu bagus. Maklum, kami orang yang tidak mampu, bisa sekolah pun sudah sangat beruntung. Sedangkan aku, aku hanya sekolah di SMP negeri kampung yang dekat dengan rumahku. Aku tidak terlalu pintar memang, tapi aku sudah beruntung karena selama ini tidak ada mata pelajaran yang tidak tuntas.

Ayah memberinya nama Nurmi. Sama dengan nama Ibuku. Nurmi adalah malaikat bagiku, karena dia adalah pengganti ibuku yang mungkin sudah ada di sisi malaikat di surga. Aku sangat sayang Nurmi. Tapi, menurutku Nurmi tidak mau menyayangiku. Apapun yang terjadi dia hanya ingin hidup dengan ayah. Kemanapun dia pergi ia selalu minta ayah untuk mengantar atau menemaninya. Setiap pagi, ayah mengantarnya pergi ke sekolah. Keduanya bergandengan tangan mengarungi indahnya pagi di tengah kekelaman hidup. Kadang, Nurmi meminta ayah menggendongnya. Tubuh ayah yang kecil tergopoh-gopoh, bersusah payah memanjakan putrinya. Sesampai di sekolah, Nurmi dipasrahkan pada seorang guru, sementara itu ayah pergi mencari makan untuk kami sekeluarga di sawah. Sepulang sekolah, adalah tugas ayah juga untuk menjemput Nurmi. Kadang Nurmi diajak Ayah ke sawah. Tubuh kecil Nurmi berlarian mengejar capung bersiluet langit sore. Ia tertawa lepas, begitu bebasnya ia menghadapi hidup. Mungkin Nurmi tak mengerti hidupnya sendiri. Ia bebas, tapi sebetulnya terkekang dalam tubuhnya yang kurang sempurna.Dari wajahnya, aku melihat suatu kepolosan dari Nurmi, ia seakan tak punya dosa sedikitpun. Jika, melihat wajahnya, orang malah merasa berdosa, berdosa karena tidak mensyukuri hidup yang sebetulnya indah.

Nurmi sangat takut pada hujan. Aku sendiri tidak tahu kenapa, mungkin dia ingat bahwa dia lahir ketika hujan turun dan ketika itulah ibuku meninggal. Pernah, sepulang sekolah, hujan lebat mengguyur kampung kami termasuk sekolah Nurmi. Ayah kebingungan sendiri. Saat itu ayah masih di sawah. Lalu, Ia berlarian di tengah hujan menyusul Nurmi ke sekolah. Nurmi terpojok di dinding sekolah yang sudah tua, tak berdaya. Ia menutup telinganya, menangis ketakutan. Tinggal, Nurmi sendiri yang disana. Mungkin, kalau aku disana aku akan ikut menangis, aku tak tega. Ayah langsung merangkul Nurmi. Dengan membawa payung tua, yang kerangkanya pun sudah tak karuan Ayah tertatih-tatih menggendong Nurmi. Aku menunggu mereka di depan rumah. Aku mellihat Nurmi masih menangis terisak-isak. Aku kasihan pada Ayah juga pada Nurmi, sungguh kasihan. Aku berlari menjemput mereka, ingin kugantikan Ayah. Tapi Nurmi tidak mau. Ayah tetap berjalan sambil bersenandung untuk menenangkan Nurmi. Aku sungguh bangga pada Ayahku sendiri. Ia begitu gigih, terlihat sangat tegar walau raganya begitu rapuh.

Ayah selalu menemani Nurmi tidur. Ayah bersenandung walau suaranya sedikit parau. Tiupan angin malam menjadi musik lain pengiring senandung Ayah. Suara kayu berdecit dari rumah kami yang reyot ini juga turut menyumbangkan senandungnya demi menidurkan Nurmi. Kadang, Ayah mendongengkan sebuah cerita untuk Nurmi. Meski, hanya satu cerita yang ia dongengkan— Kancil Mencuri Timun. Nurmi tak pernah bosan mungkin bisa dibilang ia tak bisa mengerti dongeng Ayah. Tapi, Nurmi selalu tertidur pulas setelah ia mendengar dongeng Ayah. Aku tertegun, terhenyak untuk sesaat...dadaku sesak. Aku tak pernah melakukan apapu untuk mereka berdua. Mereka berdua adaah pahlawanku, yang menyadarkanku tentang arti hidup. Mereka yang selalu menemaniku walau aku tak menyadarinya.

Malam ini, senandung itu tak terdengar lagi. Senandung itu berubah jadi rintihan yang menyakitkan, menyedihkan dan mencekam. Nurmi sudah tidur, tapi aku belum, aku tak bisa. Rintihan Ayah mengusik tidurku, aku tak tenang. Ayah terus batuk dan mengeluh kesakitan. Aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan, tak mungkin malam-malam begini kubawa ayahku ke puskesmas atau rumah sakit. Aku akan bayar pakai apa?

Esoknya, aku menceritakan kondisi Ayah pada tetanggaku, untunglah dia sudi menolong Ayahku dan meminjami kami uang untuk biaya kesembuhan Ayah. Akhirnya Ayah dibawa ke rumah sakit. Seorang wanita berbaju serba putih mendatangiku, ia mengatakan bahwa Ayah terkena TBC. Keadaan Ayah sudah sangat parah, aku yakin, pasti butuh obat yang sangat banyak dan mahal untuk menyembuhkannya. Hari ini aku dan Nurmi tidak berangkat ke sekolah, khusus untuk menemani Ayah. Nurmi terus berada di samping Ayah dan memeluknya, seakan dia tidak mau Ayah pergi.

Sekali lagi, kulihat wajah ayah yang masih terpejam matanya. Yang tampak hanya ketegaran. Lalu, perlahan dia membuka matanya. Aku lega, akhirnya Ayah sadar juga. Ia memandang Nurmi dan aku yang ada disampingnya. Ayah tersenyum, seakan dia bangga padaku dan Nurmi. Padahal, aku sendiri tak tahu apa yang telah aku lakukan untuk keluarga kami. Ia terlihat tenang, dan matanya kembali terpejam. Nafas yang lembut terhembus dari hidungnya, ini adalah nafas terakhirnya! Aku berlarian, mencari dokter, perawat atau siapapun yang bisa membantu ayah kembali, tapi takdir Tuhan telah berlaku. Kini, aku telah menjadi anak yatim piatu. Nurmi terus bertanya padaku, kenapa ayah tak lekas bangun. Aku tertegun, tak tahu apa yang harus aku katakan.

Jenazah Ayah dibaringkan di ruang tengah rumahku. Kejadian 9 tahun lalu, terulang lagi. Hanya bedanya kini ada Nurmi yang ikut menangis di sampingku. Aku melihat kesedihan dan kekecewaan di mata Nurmi. Entah dia mengerti atau tidak apa yang terjadi pada Ayah.

Air mataku sudah habis karena terus menangis, tapi kesedihanku belum reda. Aku merasa aku terpojok sendiri, aku sudah tak punya siapa-siapa. Aku tak tahu harus bergantung pada siapa. Aku sudah tak punya sandaran lagi. Aku masih belum bisa berpikir, apa yang akan kulakukan di hari esok. Siapa yang akan bekerja, siapa yang akan mencari uang untuk aku dan Nurmi? Hanya aku yang bisa digantungkan, tapi aku bisa apa? Lulus SMP pun belum, apa keahllian yang aku punya?

Hari berikutnya, aku masih terlalu lelah untuk berpikir bahkan untuk bermimpi. Uang yang kami punya hanya cukup untuk dua hari ke depan, lalu apa yang akan kami makan tiga hari mendatang? Tidak ada yang bisa menolongku lagi. Semua yang ada di dunia serasa tak memihakku, suara kicau burung pagi pun bagai burung gagak pencabut nyawa.

Hari kedua, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sekolah, aku akan bekerja apa saja. Aku relakan sekolahku, walau tiga bulan lagi aku menempuh ujian akhir sekolah. Nurmi juga tidak sekolah.Aku pikir percuma ia sekolah, karna gurunya hanya menerima gaji tanpa memberi ilmu apapun. Tak ada perubahan yang berarti pada Nurmi meski ia sudah sekolah. Aku akan coba mengasuhnya sendiri karna sekarang Nurmi sudah mau ikut denganku. Perlahan dia tidak menanyakan ayah lagi.

Kini, hari ketiga, terpojoklah aku dan Nurmi disini. Kami berdua benar-benar terlihat tak berdaya. Kami menengadahkan tangan kami untuk meminta belas kasihan pada orang yang lewat. Kadang, ada yang begitu kasihan melihat Nurmi dan memberi kami seribu rupiah. Tapi, ada juga yang lewat begitu saja memalingkan matanya. Ya, kami berdua kini hanyalah pengemis! Memang, aku bukanlah kakak yang baik untuk Nurmi. Aku bodoh, tak menyekolahkannya dan malah menyuruhnya menjadi pengemis. Tapi apa dayaku, aku tak mampu melakukan apapun. Kadang, aku kecewa pada diriku sendiri. Tiga hari yang lalu, ayah memandangku dengan bangga. Tapi, apa kini balasanku, aku malah memperburuk keadaan. Aku hanya bisa berjanji untuk selalu melindungi Nurmi. Aku masih menyayanginya, dia masih malaikat tak bersayapku. Kini, aku yang menyanyikan senandung untuknya agar dia bisa tertidur pulas. Kini, aku yang akan menenangkannya saat hujan turun. Aku akan menggendongnya dan merangkulnya di tengah deras hujan. Suatu saat Nurmi bertanya padaku dengan terbata-bata,”Ma..ma...na.. Ba..ba...pak?” Lalu, aku bilang bahwa Ayah sedang menemani ibuku. Ayah sedang bersenandung indah untuk ibu. Nurmi tersenyum dan kembali hidup bebas. Aku hanya ingin membuat Nurmi bahagia, biarkan dia menikmati masa kecilnya, mengejar capung, mengejar mimpi-mimpinya. Aku akan terus membelanya, walau kadang anak kecil lain malah mencelanya.

Monolog


Hari ini, seperti yang sudah-sudah, aku selalu duduk terdiam di sini. Di tengah hampDygtan hijau rumput yang luas. Memandang langit biru tuk yang kesekian kali. Memandang pelangi tuk melupakan kerinduan di hati. Ya, di sinilah aku bertemu cinta pertamaku dan kehilangan dirinya sampai entah kapan.

Taman ini tak begitu luas, tapi indah. Bunga-bunganya disusun rapi. Rumputnya yang hijau dan rapi meperlihatkan bahwa pemilik taman ini merawatnya dengan teliti. Di tengah taman, ada kolam kecil dengan air mancur sederhana. Tapi, disinilah pusat daya tarik taman ini bagiku. Hampir setiap sore aku memandang matahari terbenam dari kolam ini. Kalau musim hujan tiba, pelangilah yang kutunggu. Aku bisa memandang pantulan keindahan ini dari riak-riak air kolam. Dari sinilah aku belajar. Belajar tentang cinta dari pelangi. Tahukah kawan, pelangi berhubungan dengan cinta, cinta bagaikan pelangi. Pelangi berasal dari dua unsur berbeda, air dan cahaya, seperti cinta yang berasal dari dua ciptaan Tuhan yang berbeda. Karena Tuhanlah, mereka bisa bersatu. Cinta mereka menciptakan keindahan seperti pelangi. Inilah kisah cintaku, Tuhan menghendaki aku bertemu cahaya itu, hingga aku menemukan warna-warna hidupku, tapi kemudian dia memisahkan ku darinya.

Langit sore menyemburatkan sinar-sinar matahari dengan lembut, kunikmati indahnya sore itu dengan melukisnya di atas kertas putih. Inilah yang sering kulakukan dan yang hanya bisa kulakukan. Aku bukanlah gadis sempurna, kawan. Kalau kau melihatku sekilas aku seperti gadis kebanyakan. Rambutku yang panjang berombak kubiarkan tergurai menutupi bahuku. Kaki dan tanganku juga berfungsi layaknya manusia biasa. Mataku bisa melihat dan telingaku bisa mendengar apa kata dunia. Tapi, aku tak bisa mengatakan pada dunia bagaimana perasaanku saat ini. Dari kecil Tuhan tak memberikan suara padaku. Ibuku pernah menjelaskan mengapa hal ini terjadi, tapi aku tak mengerti saat itu, dan sekarang aku tak mau mengerti mengapa hal ini terjadi. Aku hanya ingin hidup bebas tanpa beban. Ingin menikmati sari-sari hidup. Aku tak mau marah pada Tuhan, ibuku atau siapapun. Ini bukan salah siapa-siapa. Inilah takdir, kawan. Tuhan selalu mengatur segalanya dengan baik adanya.

Walaupun Tuhan menyembunyikan suaraku, tapi Tuhan tidak menyembunyikan talentaku. Aku memang tak bisa berkata-kata, tapi tanganku lah yang akan berkata-kata. Ya, tuhan meemberiku bakat untuk melukis. Lukisankulah yang menggambarkan kata-kata hatiku. Seandainya, mereka bisa bicara, engkau akan tahu perasaanku sekarang ini.

Langit cerah itu tiba-tiba tertutup oleh kabut hitam. Awan kumulus nimbus sebagai pertanda akan turun hujan. Segera aku berlari mencari pohon untuk berteduh. Kumpulan kertas-kertas gambarku kubawa tak karuan. Kulihat sebuah pohon yang cukup besar untuk berteduh. Aku berlari dan,...”Aduh!”, kudengar suara anak laki-laki. Karena panik, aku tak melihat ada anak laki-laki yang berlawanan arah dariku dan berlari menuju pohon yang sama denganku. Aku menubruknya, atau bisa dibilang dia menubrukku. Kertas-kertas gambarku berjatuhan. Aku segera mengambilnya, karena takut basah. Aku berpaling ke arah anak laki-laki itu. Dari wajahnya, ia seumuran denganku 14 tahun. Ia juga sedang memungut kertas-kertas miliknya yang tadi jatuh. Aku merasa tak enak. Aku ingin minta maaf, tapi bagaimana caranya? Jadi, aku hanya memandanginya. Mungkin, dia sadar akan hal ini dan memandangku. Ia tersenyum, bukan hanya bibirnya tapi juga matanya. Aku merasa tersihir, seolah aku melihat pelangi di matanya. Waktu terasa berhenti berdetak. Ia memandangku dan aku memandangnya. Aku merasa tergetar tuk waktu yang sedemikian lama. Semilir angin menghembuskan nafasnya dan menyadarkanku setelah sekian lamanya. Aku membalas senyumnya, dan dia mulai bicara. ”Maaf, ya!” itulah kata pertamanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangannya, dan meyebutkan namanya. Dygta, ya Dygta itulah namanya. Ia tetap mengulurkan tangannya dan menanyakan namaku. Ooh Tuhan, bagaimna aku menjawabnya. Hatiku bergetar, tapi juga melonjak-lonjak. Aku bingung, bahkan untuk mengulurkan tangan pun aku tak bisa, aku hanya berdiri mematung dan diam. Mungkin, inilah yang dinamakan orang demam cinta pertama pada pandangan pertama tepatnya. Ia menarik mundur tangannya dan kembali tersenyum. Lalu kami berdua duduk bersandar di pohon besar itu menunggu hujan reda. Ia mulai memecah kesunyian dengan menceritakan siapa dirinya. Ternyata, dugaanku benar ia memang seumuran denganku. Kertas-kertasnya tadi adalah puisi-puisi ciptaannya. Baru beberapa menit bersama Dygta aku sudah merasa begitu dekat dengannya. Pertemuan kami hanya seperti cerita monolog, Dygta terus bercerita dan aku terus mendengarkannya. Heran memang, ia tidak menanyakan kenapa aku terus diam, seakan dia tahu aku adalah gadis bisu.

Hujan turun tak begitu lama. Aku sudah berdiri bersiap untuk pulang ke rumahku. Tapi, langkahku terhenti. Aku melihat pelangi menyemburatkan sinarnya dengan anggun. Sungguh romantis. Aku jadi ingat filosofi cinta yang kubuat sendiri. Aku terdiam terpaku, Dygta juga berdiri dan melihat pelangi itu. Ia tersenyum, dan berkata, ”Pelangi berhubungan dengan cinta...”. Aku terkejut, dia seakan bisa membaca pikiranku. Rencana Tuhan memang tak pernah bisa diduga. Lalu ia melanjutkan ceritanya, sama persis seperti ceritaku. Ingin, kukatakan pada Dygta aku juga punya cerita seperti itu, tapi bagaimana caranya? Jadi, sekali lagi aku hanya tersenyum dan memandang takjub pada kedua pelangi di matanya.

Dygta telah mengganggu tidurku. Ia memberikan kerinduan mendalam di hatiku. Kini, dialah yang menghiasi mimpiku. Sore berikutnya aku kembali ke taman itu, berharap bisa bertemu lagi dengan Dygta. Aku terduduk di kolam dan berkhayal tentangnya. Aku mulai menggerakkan ujung pensilku dan melukis wajah pemilik mata pelangi itu. Andaikan gambar-gambar ini bisa bicara, dan mengungkapkan perasaanku saat ini, kuharap Dygta bisa mengerti betapa aku merindukannya. Tiba-tiba sesosok manusia datang dan mengambil gambarku. Aku terkejut, tapi ternyata dia Dygta. Dia tertawa lalu terdiam mengamati sketsa lukisanku. Aku merasa sedikit malu, tapi wajahnya yang jenaka dan sok serius itu menghilangkan semua rasa canggungku. Aku lalu berdiri dan merebut kembali lukisanku. Ia memandangku, aku menaikkan alisku sebagai isyarat untuk mengetahui bagaimana pendapatnya tentang lukisanku. Ia terlihat murung, aku sedikit was-was dan akhirnya ia berkata,” Ehm, wajahku terlihat lebih manis di lukisanmu...” lalu dia tertawa. Aku pun tersenyum.

Hari-hari berikutnya, dialah yang ada dalam benakku. Hampir setiap sore kami bertemu. Aku merasa ada cinta di antara kami. Tapi, cinta ini cinta bisu. Tak ada yang saling mengungkapkan. Ingin sekali kukatakan padanya, apakah kau tak mengerti bahwa kau telah membuat hatiku gundah, Dygta. Apa kau tak mengerti bahwa kau telah mengganggu hatiku sekaligus mewarnai pelangi jiwaku yang dulu semu? Tapi, apakah kau juga mengganggapku sama?

Saat-saat bersama Dygta adalah saat untuk menikmati hidup. Kadang, ia memperlihatkan puisi-puisinya padaku. Suatu saat ia menanyakan pendapatku tentang puisinya, aku hanya mengangguk dan tersenyum, ia pun membalas senyumku dengan bahagia. Entah kenapa, aku merasa tenang di dekat Dygta. Ia adalah sosok yang polos dan menyenangkan. Aku merasa penuh percaya diri dan bebas bersamanya. Dia tak pernah mempermasalahkan ketidaknormalanku. Aku merasa mendapat perhatian darinya. Ia pernah membuat puisi untukku dan saat itulah pertama kali ia menyebut namaku, padahal aku tak pernah memberitahu siapa namaku padanya. Entah bagaimana dia tahu.

Sore ini aku kembali ke taman itu. Kunikmati pemandangan sore hari dan mulai melukis. Kugambarkan dua bocah remaja di tengah hamparan rumput hijau yang sejuk berlatar langit sore yang indah. Ingin kutunjukkan gambar ini begitu Dygta datang nanti. Aku menunggu, lama.... Dygta tak datang juga. Aku pulang, dan kembali ke taman ini hari berikutnya. Aku masih belum bertemu Dygta, sungguh tak biasa. Hari ke empat, dan aku kembali menunggunya. Saat aku duduk di pinggir kolam seperti biasanya, aku melihat amplop biru bertuliskan namaku. Aku membacanya,

Kujejakkan kakiku di hijau rumput ini

Kucari tempat tersembunyi,

Hanya untuk melihat wajahmu

Aku mengenalmu lebih dari yang kau tahu

Meski kau tak tahu bahwa aku mengagumimu

Tidurku tak lagi nyenyak,

Karena bayangmu yang ada di kepalaku

Bunga-bunga hatiku bermekaran

Karna sejuk siraman airmu

Cinta kita kosong tapi berwarna

Cinta kita bisu tapi penuh arti

Cinta kita bagai pelangi yang lalu pergi

Tapi kau harus yakin cinta kita takkan terikat waktu

Aku ingin kau menungguku pulang

Karena aku pergi, untuk kembali....

Inilah puisi Dygta untukku. Ia pergi dan aku harus menunggunya. Entah kapan, akan kulihat pelangi di matanya yang membuat hatiku bergetar tuk sekian lamanya. Aku tak menyangka ia telah mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Ia pergi sebelum aku mengatakan perasaanku padanya. Seandainya, gambar itu bisa bicara, kau akan tahu bahwa aku bahagia karenamu, Dygta. Kepergianmu meninggalkan kekosongan di hatiku. Aku kecewa, kau telah memberikan racun padaku. Tapi, puisimu adalah penawar bisamu. Puisimu meyakinkanku akan cintamu, akan pelangi hidupku. Aku tahu, kau akan kembali. Aku merasa beruntung, telah menemukanmu, dan aku beruntung karena aku punya cinta pertama yang takkan pernah terlupakan. Kini, aku kembali di bawah pohon tempat kita pertama bertemu untuk menunggumu. Aku akan tetap menjadi air dan kau cahayanya. Kita akan menciptakan pelangi yang lebih indah dari pelangi manapun, karna kau adalah takdirku, Dygta.

Aku tidak sedang ingin mati!!!


Aku tidak sedang ingin mati!!!

Mendung,

Bukan lagi pertanda hujan

Bahkan cerah pun

Kadang jadi badai...

Sajak-sajak yang indah kini jadi tak berarti lagi

Meski lembayung masih berwarna

Tapi, dunia ini sudah berbeda... berubah...

Semangatku pudar,

karna kata-kata yang tak lagi bisa kuungkap dengan indah

karna hidup yang kujalani dengan lelah

hingga kubertanya padaMu

kapan kau datang? Dan menjemputku....?

***

Lalu,

Matahari itu datang mengubah musimku

Anginku berpindah haluan, musim dinginku telah bersemi

Sajak-sajakku mekar dan layang-layang ini pun terbang

Setiap kata-katamu adalah ukiran dalam hatiku

Tak ada lagi monolog,

tak ada lagi kisah angsa yang mencari bayang-bayangnya

karna aku tlah menemukan segalanya, yang membuat semua berarti lagi

hingga sayap-sayap yang patah pun dapat terangkai kembali

dan kertas putih ini pun terisi lagi

Lembayung membiaskan sinarnya, dengan emas di ujungnya

Tiada lagi badai, karna sekali lagi musim tlah berganti

Karna sekali lagi matahariku tlah datang

Matahari dari dunia nyata yang tidak menjemputku tapi menemaniku

Maafkan aku Tuhan...

Kali ini, sekali lagi aku mohon maaf

Aku tidak sedang menunggumu....

Maafkan aku....

Karna aku tidak sedang ingin mati

*kembali lagi*

~BaThUK~

Obiet buat para D'bieterz

Tau idola cilik 2 di RCTI kan ??? dari 14 finalis ada 1 yg bener2 menyita perhatianku ... ini dia obiet!!! dengan suaranya yg tenang menghanyutkan dan rajanya improvisasi ini, para d'bieterz ga prnah lupa dan selalu merindukannya..

Obiet adalah salah satu kontestan dari Yogyakarta selain Agni dan Cakka. Meskipun wakil dari Yogyakarta tapi Obiet tinggal di Kertosari, Temanggung. Anak dari Ayah Tatas dan Bunda Prima ini lahir tgl 16 Juli 1998. Obiet namanya, mengandung arti: Penuh daya cipta dan Menerima dengan sepenuh hati. MUngkin arti namanya memang benar, terbukti Obiet selalu tersenyum meskipun dia harus keluar dari idola cilik dan menjadi juara keempat. Kegagalannya lolos ke tiga besar, membuat para D’bieterz sangat kecewa. Tak lama setelah K’Oki mengumumkan siapa yg hrs tinggal kelas(TK), blog For Obiet Panggrahito langsung ramai. Tak kurang dari 42 d’bieterz langsung OL dan berkomentar untuk menyampaikan uneg-uneg nya… Tapi, tak lama setelah itu, kami para d’blieterz sadar bahwa kami harus menerima dan bersyukur atas apa yg terjadi seperti yang selalu dikatakan oleh obiet dan keluarganya.

Kata-kata Obiet dan sikapnya yang selalu memberi inspirasi semakin membuat banyak orang menyayanginya termasuk juri IC2 Mama Ira. Saat Obiet TK pun Mama Ira sempat menangis, Karena obiet memang menjadi idola para Juri terutama Om Duta. Obiet selalu mendapat komentar positif dari para juri. Penampilannya tak pernah mengecewakan dan selalu membuat para penggemarnya menunggu penampilannya, Lagi..Lagi..Lagi....Laaaggiiii... seperti yel-yel yang selalu obiet sampaikan.

Penampilan Obiet yang tak pernah kulupakan adalah saat Obiet menyanyi lagu Aku bertahan (Rio Febrian), lagu ini adalah lagu terakhir yang dinyanyikan solo oleh Obiet di panggung IC2. Lagu ini benar-benar menggambarkan perasaan Obiet saat tersisih.. lihat saja liriknya sangat mirip..

Namun, keluarnya Obiet telah memberi banyak ilham, para d’bieterz semakin dekat satu sama lain termasuk dengan keluarga Obiet. Sampai ada beberapa d’bieterz yang membuat fansite Dek Ben Comunity.. Dek Ben adalah adik Obiet yang juga sama imutnya.. Keluarga Obiet yg sangat ”Welcome” membuat d’bieterz semakin menyayanginya, tidak hanya Obiet tapi sekeluarga..

pengen lagu2 obiet???? ini dia, aku sediakan beberapa lagu yg paling bagus dinyanyiin ma obiet..


1.
aku bertahan

2. kasih tak sampai

3. kasih putih

4. begitu indah

5. juara sejati (album ic2)

6. laskar pelangi (album ic2)

7. kepompong (album ic2)

8. bukan superstar (album ic2)

9. tercipta untukmu

10. Masih ada

11. Nuansa bening

12. Selamat pagi

13. Aku pasti kembali

14. The prayer

15. Tak bisakah

16. Biarlah

17. Lirih

18. Jangan kau lepas

19. Tak bisa memiliki

20. Demi Cinta

21. SEdari dulu

22. Permintaan hati

23. Sempat memiliki

24. Terimakasih cinta

25. Peluk

26. Yang terlewatkan

27. Hingga akhir waktu

28. Lubang di Hati

29. Bunga Jiwaku

30. Merindukanmu

Terperangkap

Terperangkap

Siapakah kau ini?

Yang datang mengejutkan pintu hatiku

Siapakah kau ini?

Yang telah merusak ketenangan jiwaku

Siapakah kau ini?

Yang memaksa masuk dan lalu pergi meninggalkanku

Kau terdiam, terdiam tanpa kata

Bukan salahku ataupun salahmu,

Tak mengungkapkan cinta bisu ini

Aku hanya tak tahu bagaimana caranya

Aku meniti jembatan kecil, sangat kecil

Antara aku dan kau

Begitu sepi dan hampa

Kusadar cinta kita hanya maya

Cinta kita memberi warna, meski kosong

Cinta kita terperangkap, dalam hatiku dan hatimu

Merangkak,

Mencari cara untuk mengungkapkan

Cinta kita air mata,

Yang tumpah dan seakan ingin bicara

Cinta kita bagai ombak, bergejolak, menghanyutkan

Dan menenggelamkan seribu kata

Cinta kita telah sampai di langit ketujuh

Tapi, kita hanya diam disana

Diam, tak bergerak

Menunggu, lama...

Hingga jam dinding berhenti berdetak

Kutakkan tahu isi hatimu

Tapi kuberuntung, sempat mengenal dirimu...

-- baThuK--

My Poetry..

TAK TERSELESAIKAN

Tidakkah kau rasa, angin malam menusuk tulang

Tak berpenghalang

Tidakkah kau sadar, badai taufan tlah lama menerjang

Tiada kunjung matahari datang

Dulu, engkaulah angin semilir

Membawa kesejukan

Dulu, engkaulah musim semiku

Hanya menaburkan bunga di sepanjang hidupku

Menemani sepiku, hingga hilang gundahku

Kau meniupkan harmoni, di sela-sela hembusanmu

Lalu, akan kubuat puisi hanya untukmu

Puisi yang mengalir begitu saja

Hingga kita bentuk sebuah lagu hidup

Hanya untuk kita berdua

Musim berganti,

Engkau pergi....

Aku tak mengerti musim akan berganti begitu cepat

Sepi,

Sungguh terasa kehilangan itu

Aku kehilangan daya,

Sungguhpun aku tlah mati... tanpa bisa memahami

Lalu, puisi-puisi ini tak akan selesai

Sampai musim kembali berganti...