MALAIKAT TAK BERSAYAP
Kain putih pertanda berita duka menghiasi halaman rumahku. Saat itu aku belum mengerti apa yang terjadi. Tapi setelah aku beranjak remaja, aku tahu bahwa saat itulah ibuku meninggal. Perjuangannya untuk melahirkan adikku berakibat pada kematiannya sendiri. Sembilan bulan mengandung adikku, ibu gunakan untuk bekerja keras membantu ayah bekerja. Hal inilah yang mengakibatkan kandungan ibu tidak sehat. Ketika itu, keadaan ekonomi kami sangat sulit. Ayah baru saja di-PHK dari pabriknya. Untuk mencari pekerjaan di wilayah pinggiran kota seperti ini bukanlah hal yang mudah. Untung saja masih ada orang baik yang mau membantu kami, ayahku diminta untuk menjadi buruh tani. Memang, gajinya tak seberapa tapi cukuplah untuk makan kami bertiga saat itu.
Ibu melahirkan adikku dibantu oleh penduduk sekitar, tanpa bidan, dokter ataupun perawat. Penanganan medis yang kurang membuat ibuku tak sanggup bertahan. Adikku lahir dan terlihat normal. Hari demi hari berlalu, hingga tiga tahun adikku hidup di dunia ini. Aku dan ayahku heran, adikku belum bisa bicara juga... Hingga usianya 5 tahun, ayah melihat keanehan di wajah adikku. Ayah menyadari adikku mengalami cacat mental. Bicaranya kurang jelas, dia tak bisa berpikir normal seperti anak lain. Saat anak-anak seusianya sudah bisa mengenal namanya sendiri, adikku belum bisa mengucapkan satu patah kata pun dengan jelas. Tuhan menunjukkan kuasanya pada keluarga kami. Tuhan memang murah hati tapi kadang juga tidak adil.
Ayah memutuskan untuk menyekolahkan adikku pada usianya yang ketujuh. Adikku bersekolah di suatu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sebenarnya tidak terlalu bagus. Maklum, kami orang yang tidak mampu, bisa sekolah pun sudah sangat beruntung. Sedangkan aku, aku hanya sekolah di SMP negeri kampung yang dekat dengan rumahku. Aku tidak terlalu pintar memang, tapi aku sudah beruntung karena selama ini tidak ada mata pelajaran yang tidak tuntas.
Ayah memberinya nama Nurmi. Sama dengan nama Ibuku. Nurmi adalah malaikat bagiku, karena dia adalah pengganti ibuku yang mungkin sudah ada di sisi malaikat di surga. Aku sangat sayang Nurmi. Tapi, menurutku Nurmi tidak mau menyayangiku. Apapun yang terjadi dia hanya ingin hidup dengan ayah. Kemanapun dia pergi ia selalu minta ayah untuk mengantar atau menemaninya. Setiap pagi, ayah mengantarnya pergi ke sekolah. Keduanya bergandengan tangan mengarungi indahnya pagi di tengah kekelaman hidup. Kadang, Nurmi meminta ayah menggendongnya. Tubuh ayah yang kecil tergopoh-gopoh, bersusah payah memanjakan putrinya. Sesampai di sekolah, Nurmi dipasrahkan pada seorang guru, sementara itu ayah pergi mencari makan untuk kami sekeluarga di sawah. Sepulang sekolah, adalah tugas ayah juga untuk menjemput Nurmi. Kadang Nurmi diajak Ayah ke sawah. Tubuh kecil Nurmi berlarian mengejar capung bersiluet langit sore. Ia tertawa lepas, begitu bebasnya ia menghadapi hidup. Mungkin Nurmi tak mengerti hidupnya sendiri. Ia bebas, tapi sebetulnya terkekang dalam tubuhnya yang kurang sempurna.Dari wajahnya, aku melihat suatu kepolosan dari Nurmi, ia seakan tak punya dosa sedikitpun. Jika, melihat wajahnya, orang malah merasa berdosa, berdosa karena tidak mensyukuri hidup yang sebetulnya indah.
Nurmi sangat takut pada hujan. Aku sendiri tidak tahu kenapa, mungkin dia ingat bahwa dia lahir ketika hujan turun dan ketika itulah ibuku meninggal. Pernah, sepulang sekolah, hujan lebat mengguyur kampung kami termasuk sekolah Nurmi. Ayah kebingungan sendiri. Saat itu ayah masih di sawah.
Ayah selalu menemani Nurmi tidur. Ayah bersenandung walau suaranya sedikit parau. Tiupan angin malam menjadi musik lain pengiring senandung Ayah. Suara kayu berdecit dari rumah kami yang reyot ini juga turut menyumbangkan senandungnya demi menidurkan Nurmi. Kadang, Ayah mendongengkan sebuah cerita untuk Nurmi. Meski, hanya satu cerita yang ia dongengkan— Kancil Mencuri Timun. Nurmi tak pernah bosan mungkin bisa dibilang ia tak bisa mengerti dongeng Ayah. Tapi, Nurmi selalu tertidur pulas setelah ia mendengar dongeng Ayah. Aku tertegun, terhenyak untuk sesaat...dadaku sesak. Aku tak pernah melakukan apapu untuk mereka berdua. Mereka berdua adaah pahlawanku, yang menyadarkanku tentang arti hidup. Mereka yang selalu menemaniku walau aku tak menyadarinya.
Malam ini, senandung itu tak terdengar lagi. Senandung itu berubah jadi rintihan yang menyakitkan, menyedihkan dan mencekam. Nurmi sudah tidur, tapi aku belum, aku tak bisa. Rintihan Ayah mengusik tidurku, aku tak tenang. Ayah terus batuk dan mengeluh kesakitan. Aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan, tak mungkin malam-malam begini kubawa ayahku ke puskesmas atau rumah sakit. Aku akan bayar pakai apa?
Esoknya, aku menceritakan kondisi Ayah pada tetanggaku, untunglah dia sudi menolong Ayahku dan meminjami kami uang untuk biaya kesembuhan Ayah. Akhirnya Ayah dibawa ke rumah sakit. Seorang wanita berbaju serba putih mendatangiku, ia mengatakan bahwa Ayah terkena TBC. Keadaan Ayah sudah sangat parah, aku yakin, pasti butuh obat yang sangat banyak dan mahal untuk menyembuhkannya. Hari ini aku dan Nurmi tidak berangkat ke sekolah, khusus untuk menemani Ayah. Nurmi terus berada di samping Ayah dan memeluknya, seakan dia tidak mau Ayah pergi.
Sekali lagi, kulihat wajah ayah yang masih terpejam matanya. Yang tampak hanya ketegaran. Lalu, perlahan dia membuka matanya. Aku lega, akhirnya Ayah sadar juga. Ia memandang Nurmi dan aku yang ada disampingnya. Ayah tersenyum, seakan dia bangga padaku dan Nurmi. Padahal, aku sendiri tak tahu apa yang telah aku lakukan untuk keluarga kami. Ia terlihat tenang, dan matanya kembali terpejam. Nafas yang lembut terhembus dari hidungnya, ini adalah nafas terakhirnya! Aku berlarian, mencari dokter, perawat atau siapapun yang bisa membantu ayah kembali, tapi takdir Tuhan telah berlaku. Kini, aku telah menjadi anak yatim piatu. Nurmi terus bertanya padaku, kenapa ayah tak lekas bangun. Aku tertegun, tak tahu apa yang harus aku katakan.
Jenazah Ayah dibaringkan di ruang tengah rumahku. Kejadian 9 tahun lalu, terulang lagi. Hanya bedanya kini ada Nurmi yang ikut menangis di sampingku. Aku melihat kesedihan dan kekecewaan di mata Nurmi. Entah dia mengerti atau tidak apa yang terjadi pada Ayah.
Air mataku sudah habis karena terus menangis, tapi kesedihanku belum reda. Aku merasa aku terpojok sendiri, aku sudah tak punya siapa-siapa. Aku tak tahu harus bergantung pada siapa. Aku sudah tak punya sandaran lagi. Aku masih belum bisa berpikir, apa yang akan kulakukan di hari esok. Siapa yang akan bekerja, siapa yang akan mencari uang untuk aku dan Nurmi? Hanya aku yang bisa digantungkan, tapi aku bisa apa? Lulus SMP pun belum, apa keahllian yang aku punya?
Hari berikutnya, aku masih terlalu lelah untuk berpikir bahkan untuk bermimpi. Uang yang kami punya hanya cukup untuk dua hari ke depan, lalu apa yang akan kami makan tiga hari mendatang? Tidak ada yang bisa menolongku lagi. Semua yang ada di dunia serasa tak memihakku, suara kicau burung pagi pun bagai burung gagak pencabut nyawa.
Hari kedua, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sekolah, aku akan bekerja apa saja. Aku relakan sekolahku, walau tiga bulan lagi aku menempuh ujian akhir sekolah. Nurmi juga tidak sekolah.Aku pikir percuma ia sekolah, karna gurunya hanya menerima gaji tanpa memberi ilmu apapun. Tak ada perubahan yang berarti pada Nurmi meski ia sudah sekolah. Aku akan coba mengasuhnya sendiri karna sekarang Nurmi sudah mau ikut denganku. Perlahan dia tidak menanyakan ayah lagi.
Kini, hari ketiga, terpojoklah aku dan Nurmi disini. Kami berdua benar-benar terlihat tak berdaya. Kami menengadahkan tangan kami untuk meminta belas kasihan pada orang yang lewat. Kadang, ada yang begitu kasihan melihat Nurmi dan memberi kami seribu rupiah. Tapi, ada juga yang lewat begitu saja memalingkan matanya. Ya, kami berdua kini hanyalah pengemis! Memang, aku bukanlah kakak yang baik untuk Nurmi. Aku bodoh, tak menyekolahkannya dan malah menyuruhnya menjadi pengemis. Tapi apa dayaku, aku tak mampu melakukan apapun. Kadang, aku kecewa pada diriku sendiri. Tiga hari yang lalu, ayah memandangku dengan bangga. Tapi, apa kini balasanku, aku malah memperburuk keadaan. Aku hanya bisa berjanji untuk selalu melindungi Nurmi. Aku masih menyayanginya, dia masih malaikat tak bersayapku. Kini, aku yang menyanyikan senandung untuknya agar dia bisa tertidur pulas. Kini, aku yang akan menenangkannya saat hujan turun. Aku akan menggendongnya dan merangkulnya di tengah deras hujan. Suatu saat Nurmi bertanya padaku dengan terbata-bata,”Ma..ma...na.. Ba..ba...pak?” Lalu, aku bilang bahwa Ayah sedang menemani ibuku. Ayah sedang bersenandung indah untuk ibu. Nurmi tersenyum dan kembali hidup bebas. Aku hanya ingin membuat Nurmi bahagia, biarkan dia menikmati masa kecilnya, mengejar capung, mengejar mimpi-mimpinya. Aku akan terus membelanya, walau kadang anak kecil lain malah mencelanya.
2 Mei 2009 pukul 23.33
ouw,,ouw ouw,,
miris bgd 2w,,,
huhuhuhu...
T,T
nEs,,
Gg ad ft0mu c??
Ft0 qt"
jg g??
>..tJah ImyuTzz..<
9cEe..