Monolog
Hari ini, seperti yang sudah-sudah, aku selalu duduk terdiam di sini. Di tengah hampDygtan hijau rumput yang luas. Memandang langit biru tuk yang kesekian kali. Memandang pelangi tuk melupakan kerinduan di hati. Ya, di sinilah aku bertemu cinta pertamaku dan kehilangan dirinya sampai entah kapan.
Taman ini tak begitu luas, tapi indah. Bunga-bunganya disusun rapi. Rumputnya yang hijau dan rapi meperlihatkan bahwa pemilik taman ini merawatnya dengan teliti. Di tengah taman, ada kolam kecil dengan air mancur sederhana. Tapi, disinilah pusat daya tarik taman ini bagiku. Hampir setiap sore aku memandang matahari terbenam dari kolam ini. Kalau musim hujan tiba, pelangilah yang kutunggu. Aku bisa memandang pantulan keindahan ini dari riak-riak air kolam. Dari sinilah aku belajar. Belajar tentang cinta dari pelangi. Tahukah kawan, pelangi berhubungan dengan cinta, cinta bagaikan pelangi. Pelangi berasal dari dua unsur berbeda, air dan cahaya, seperti cinta yang berasal dari dua ciptaan Tuhan yang berbeda. Karena Tuhanlah, mereka bisa bersatu. Cinta mereka menciptakan keindahan seperti pelangi. Inilah kisah cintaku, Tuhan menghendaki aku bertemu cahaya itu, hingga aku menemukan warna-warna hidupku, tapi kemudian dia memisahkan ku darinya.
Langit sore menyemburatkan sinar-sinar matahari dengan lembut, kunikmati indahnya sore itu dengan melukisnya di atas kertas putih. Inilah yang sering kulakukan dan yang hanya bisa kulakukan. Aku bukanlah gadis sempurna, kawan. Kalau kau melihatku sekilas aku seperti gadis kebanyakan. Rambutku yang panjang berombak kubiarkan tergurai menutupi bahuku. Kaki dan tanganku juga berfungsi layaknya manusia biasa. Mataku bisa melihat dan telingaku bisa mendengar apa kata dunia. Tapi, aku tak bisa mengatakan pada dunia bagaimana perasaanku saat ini. Dari kecil Tuhan tak memberikan suara padaku. Ibuku pernah menjelaskan mengapa hal ini terjadi, tapi aku tak mengerti saat itu, dan sekarang aku tak mau mengerti mengapa hal ini terjadi. Aku hanya ingin hidup bebas tanpa beban. Ingin menikmati sari-sari hidup. Aku tak mau marah pada Tuhan, ibuku atau siapapun. Ini bukan salah siapa-siapa. Inilah takdir, kawan. Tuhan selalu mengatur segalanya dengan baik adanya.
Walaupun Tuhan menyembunyikan suaraku, tapi Tuhan tidak menyembunyikan talentaku. Aku memang tak bisa berkata-kata, tapi tanganku lah yang akan berkata-kata. Ya, tuhan meemberiku bakat untuk melukis. Lukisankulah yang menggambarkan kata-kata hatiku. Seandainya, mereka bisa bicara, engkau akan tahu perasaanku sekarang ini.
Langit cerah itu tiba-tiba tertutup oleh kabut hitam. Awan kumulus nimbus sebagai pertanda akan turun hujan. Segera aku berlari mencari pohon untuk berteduh. Kumpulan kertas-kertas gambarku kubawa tak karuan. Kulihat sebuah pohon yang cukup besar untuk berteduh. Aku berlari dan,...”Aduh!”, kudengar suara anak laki-laki. Karena panik, aku tak melihat ada anak laki-laki yang berlawanan arah dariku dan berlari menuju pohon yang sama denganku. Aku menubruknya, atau bisa dibilang dia menubrukku. Kertas-kertas gambarku berjatuhan. Aku segera mengambilnya, karena takut basah. Aku berpaling ke arah anak laki-laki itu. Dari wajahnya, ia seumuran denganku 14 tahun. Ia juga sedang memungut kertas-kertas miliknya yang tadi jatuh. Aku merasa tak enak. Aku ingin minta maaf, tapi bagaimana caranya? Jadi, aku hanya memandanginya. Mungkin, dia sadar akan hal ini dan memandangku. Ia tersenyum, bukan hanya bibirnya tapi juga matanya. Aku merasa tersihir, seolah aku melihat pelangi di matanya. Waktu terasa berhenti berdetak. Ia memandangku dan aku memandangnya. Aku merasa tergetar tuk waktu yang sedemikian lama. Semilir angin menghembuskan nafasnya dan menyadarkanku setelah sekian lamanya. Aku membalas senyumnya, dan dia mulai bicara. ”Maaf, ya!” itulah kata pertamanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangannya, dan meyebutkan namanya. Dygta, ya Dygta itulah namanya. Ia tetap mengulurkan tangannya dan menanyakan namaku. Ooh Tuhan, bagaimna aku menjawabnya. Hatiku bergetar, tapi juga melonjak-lonjak. Aku bingung, bahkan untuk mengulurkan tangan pun aku tak bisa, aku hanya berdiri mematung dan diam. Mungkin, inilah yang dinamakan orang demam cinta pertama pada pandangan pertama tepatnya. Ia menarik mundur tangannya dan kembali tersenyum. Lalu kami berdua duduk bersandar di pohon besar itu menunggu hujan reda. Ia mulai memecah kesunyian dengan menceritakan siapa dirinya. Ternyata, dugaanku benar ia memang seumuran denganku. Kertas-kertasnya tadi adalah puisi-puisi ciptaannya. Baru beberapa menit bersama Dygta aku sudah merasa begitu dekat dengannya. Pertemuan kami hanya seperti cerita monolog, Dygta terus bercerita dan aku terus mendengarkannya. Heran memang, ia tidak menanyakan kenapa aku terus diam, seakan dia tahu aku adalah gadis bisu.
Hujan turun tak begitu lama. Aku sudah berdiri bersiap untuk pulang ke rumahku. Tapi, langkahku terhenti. Aku melihat pelangi menyemburatkan sinarnya dengan anggun. Sungguh romantis. Aku jadi ingat filosofi cinta yang kubuat sendiri. Aku terdiam terpaku, Dygta juga berdiri dan melihat pelangi itu. Ia tersenyum, dan berkata, ”Pelangi berhubungan dengan cinta...”. Aku terkejut, dia seakan bisa membaca pikiranku. Rencana Tuhan memang tak pernah bisa diduga. Lalu ia melanjutkan ceritanya, sama persis seperti ceritaku. Ingin, kukatakan pada Dygta aku juga punya cerita seperti itu, tapi bagaimana caranya? Jadi, sekali lagi aku hanya tersenyum dan memandang takjub pada kedua pelangi di matanya.
Dygta telah mengganggu tidurku. Ia memberikan kerinduan mendalam di hatiku. Kini, dialah yang menghiasi mimpiku. Sore berikutnya aku kembali ke taman itu, berharap bisa bertemu lagi dengan Dygta. Aku terduduk di kolam dan berkhayal tentangnya. Aku mulai menggerakkan ujung pensilku dan melukis wajah pemilik mata pelangi itu. Andaikan gambar-gambar ini bisa bicara, dan mengungkapkan perasaanku saat ini, kuharap Dygta bisa mengerti betapa aku merindukannya. Tiba-tiba sesosok manusia datang dan mengambil gambarku. Aku terkejut, tapi ternyata dia Dygta. Dia tertawa lalu terdiam mengamati sketsa lukisanku. Aku merasa sedikit malu, tapi wajahnya yang jenaka dan sok serius itu menghilangkan semua rasa canggungku. Aku lalu berdiri dan merebut kembali lukisanku. Ia memandangku, aku menaikkan alisku sebagai isyarat untuk mengetahui bagaimana pendapatnya tentang lukisanku. Ia terlihat murung, aku sedikit was-was dan akhirnya ia berkata,” Ehm, wajahku terlihat lebih manis di lukisanmu...” lalu dia tertawa. Aku pun tersenyum.
Hari-hari berikutnya, dialah yang ada dalam benakku. Hampir setiap sore kami bertemu. Aku merasa ada cinta di antara kami. Tapi, cinta ini cinta bisu. Tak ada yang saling mengungkapkan. Ingin sekali kukatakan padanya, apakah kau tak mengerti bahwa kau telah membuat hatiku gundah, Dygta. Apa kau tak mengerti bahwa kau telah mengganggu hatiku sekaligus mewarnai pelangi jiwaku yang dulu semu? Tapi, apakah kau juga mengganggapku sama?
Saat-saat bersama Dygta adalah saat untuk menikmati hidup. Kadang, ia memperlihatkan puisi-puisinya padaku. Suatu saat ia menanyakan pendapatku tentang puisinya, aku hanya mengangguk dan tersenyum, ia pun membalas senyumku dengan bahagia. Entah kenapa, aku merasa tenang di dekat Dygta. Ia adalah sosok yang polos dan menyenangkan. Aku merasa penuh percaya diri dan bebas bersamanya. Dia tak pernah mempermasalahkan ketidaknormalanku. Aku merasa mendapat perhatian darinya. Ia pernah membuat puisi untukku dan saat itulah pertama kali ia menyebut namaku, padahal aku tak pernah memberitahu siapa namaku padanya. Entah bagaimana dia tahu.
Sore ini aku kembali ke taman itu. Kunikmati pemandangan sore hari dan mulai melukis. Kugambarkan dua bocah remaja di tengah hamparan rumput hijau yang sejuk berlatar langit sore yang indah. Ingin kutunjukkan gambar ini begitu Dygta datang nanti. Aku menunggu, lama.... Dygta tak datang juga. Aku pulang, dan kembali ke taman ini hari berikutnya. Aku masih belum bertemu Dygta, sungguh tak biasa. Hari ke empat, dan aku kembali menunggunya. Saat aku duduk di pinggir kolam seperti biasanya, aku melihat amplop biru bertuliskan namaku. Aku membacanya,
Kujejakkan kakiku di hijau rumput ini
Kucari tempat tersembunyi,
Hanya untuk melihat wajahmu
Aku mengenalmu lebih dari yang kau tahu
Meski kau tak tahu bahwa aku mengagumimu
Tidurku tak lagi nyenyak,
Karena bayangmu yang ada di kepalaku
Bunga-bunga hatiku bermekaran
Karna sejuk siraman airmu
Cinta kita kosong tapi berwarna
Cinta kita bisu tapi penuh arti
Cinta kita bagai pelangi yang lalu pergi
Tapi kau harus yakin cinta kita takkan terikat waktu
Aku ingin kau menungguku pulang
Karena aku pergi, untuk kembali....
Inilah puisi Dygta untukku. Ia pergi dan aku harus menunggunya. Entah kapan, akan kulihat pelangi di matanya yang membuat hatiku bergetar tuk sekian lamanya. Aku tak menyangka ia telah mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Ia pergi sebelum aku mengatakan perasaanku padanya. Seandainya, gambar itu bisa bicara, kau akan tahu bahwa aku bahagia karenamu, Dygta. Kepergianmu meninggalkan kekosongan di hatiku. Aku kecewa, kau telah memberikan racun padaku. Tapi, puisimu adalah penawar bisamu. Puisimu meyakinkanku akan cintamu, akan pelangi hidupku. Aku tahu, kau akan kembali. Aku merasa beruntung, telah menemukanmu, dan aku beruntung karena aku punya cinta pertama yang takkan pernah terlupakan. Kini, aku kembali di bawah pohon tempat kita pertama bertemu untuk menunggumu. Aku akan tetap menjadi air dan kau cahayanya. Kita akan menciptakan pelangi yang lebih indah dari pelangi manapun, karna kau adalah takdirku, Dygta.
0 Response to "Monolog"
Posting Komentar