Kala itu Senja begitu cerah tanpa kabut menyelimutinya Indah Nyiur pun masih melambai, merasakan cinta di antara kita Saat itu kau kepakkan sayapmu menyusur karangku Asamu tuk raih kepiting di sela-sela batuanku Hingga ombak pu enggan mengusik kisah kita
Belum habis senja di cakrawala tuk mengantarkan bias-bias sinarnya Indah, menerpa raga, Mengantarkan jiwa pada memori musim lalu yang kini entah kemana Bersamamu saat itu, kurasakan nikmat nirwana Anganku bayangkan abadi cinta kita Namun, tiba-tiba Gelombang pasang mengusirmu, engkau pun pergi lalu tak berbekas...
hingga kini musim masih berganti anginpun ciptakan badai menerpa karang-karang hatiku tahukah kawan, burung camar itu belum kembali ingin dia ada disini, temani karangku yang sepi
Seandainya,, Engkau tahu camarku Badai dahsyat datang, aku masih tegar Ombak menghempas, aku takkan karam Namun, bila terus kupandang awan menanti datangmu Gelombang terik matahari akan hanguskan ku Karangku akan lapuk Aku akan habis Habis terkikis , saat kau telah pergi tak berpaling
Kapankah musim akan segera berganti?? Akankah camarku pergi tak kembali?? Resah ku menantinya, Apakah akan selamanya?? Namun, siapa yang tahu desah jawabNya??? Gelombang pasang, matahari atau desir pasir, adakah kalian tahu..???!
Meski salju tak lagi turun Namun aku masih membeku dalam balok-balok es kesendirian Merasakan pengap yang sangat Sesak jiwa tak terkira Aku berjalan sendirian Hingga di ujung dermaga tak lagi kutemukan jalan Aku diam.. Senja datang mengusir terang, Mengundang gelap tanpa matahari malam Dermaga kian sepi, aku masih sendiri.. Aku butuh bintang malam, Kumohon datanglah.. Bantu aku memecah balok-balok es ini Hingga cairlah kebekuan jiwa dan kesesakan lara
Kini aku tahu, Semuanya sudah adil Adil bukan karena aku satu, dia satu Tapi adil dengan aku satu sedang dia dua Tak apalah tetap kau beri dia dua, tiga atau empat atau lebih Karena dia memang pantas Dan aku, Akan kucari satu, dua dan tiga yang lain Karena sudah kudapatkan satu yang berbeda Yang tak terdefinisikan dengan angka atau kata, tapi rasa Maka, inilah adil... Bukan tentang sama, tapi menyangkut pantas...
Aku berjalan sendiri menelisik gelap malam. Tak kupedulikan sinar temaram lampu pinggir jalan. Karna aku masih punya bulan yang menghalau sang awan pergi demi menerangiku. Kesepian ini tak akan mengusikku, karena di tengah kesepian ini aku merasakan hatiku mau meledak. Ingin segera kurasakan bahagiaku bersama someone special-ku. Setiap langkahku menggambarkan betapa kuburu-buru sang waktu agar aku lekas bertemu dia. Kalau waktu mampu di copy, paste atau cut seperti tulisan dalam komputer, mungkin akan ku-cut waktuku di kesendirian ini agar segera bersama dia. Dan akan ku-paste waktu ini dalam tiap langkah ku bersama dia.! Tak sabar ingin kulihat matanya yang menyiratkan kilau bulan dari bumi manapun. Dan kudengarkan setiap kata-kata darinya yang menyanyikan senandung lagu cinta terindah bahkan lebih indah dari karya Mozart sekalipun. Kutunggu setiap bait kata nya kala mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Meski nantinya dia tak memberi kado apa pun, tapi aku akan puas karena setiap bait syair dari bibirnya. Meski hanya tiga kata -selamat ulang tahun- tapi dasyatnya melebihi hadiah manapun di dunia. Karena syairnya adalah syair dengan setiap buih-buih cinta di dalamnya. Buih-buih ombak yang senantiasa bergelora dan tak peduli dengan karang. Ombak yang mampu mengkaramkan setiap kapal yang dirasa mengusiknya. Lalu, kuberjalan menuju sebuah bangku kecil di pinggir jalan. Bangku yang berada di bawah rindang pohon besar. Dengan ranting-rantingnya yang menjulur seakan hendak melindungi siapapun dalam naungan daunnya. Di samping pohon itu ada lampu temaram yang rela memberikan sedikit sinar yang masih mampu ia berikan demi orang yang duduk di sebuah bangku yang menunggu seseorang yang dikasihinya. Meski lampu temaram ini hanya mencurahkan sedikit cahayanya, tapi aku merasa dia memberi kehangatan yang sangat. Lampu temaram ini seperti dia, yang spesial untukku. Yang mampu memberikan cahaya hatinya untukku. Mungkin akulah pohon di atas bangku yang senantiasa menanamkan akarnya disamping lampu temaram itu. Demi cahaya lampu temaram yang tak kuharapkan bertambah redup. Menit-menit pertama menunggunya kunikmati dengan memandang bintang-bintang yang tengah bersanding bersama sang bulan. Bintang-bintang selatan yang senantiasa membimbing pelayar untuk berlayar membelah lautan. Yang membuat para ilmuwan terusik mempelajarinya karena keindahannya menghiasi angkasa. Seperti aku yang terusik melihat kharismanya, setiap syair cintanya, setiap manis senyumnya dan setiap tatapan matanya. Yang menghipnotisku untuk mencintainya dan selalu menjadi pelayar yang mengikuti kemana arahnya melangkah. Limabelas menit kemudian dia belum datang. Aku mulai tak tenang. Harusnya sudah sepuluh menit yang lalu dia menghampiriku dan mengucapkan selamat ulang beserta sebuah kecupan hangat di keningku. Harusnya sudah sepuluh menit yang lalu kutemukan sebuah lampu yang tidak temaram lagi yang akan lebih menghangatkan pohon hatiku. Setengah jam akhirnya detik ini berjalan. Tak biasanya. Sekali lagi kulihat jam tanganku, memastikan apakah jarumnya berjalan terlalu cepat. Tapi tidak, semuanya normal. Lalu apanya yang salah? Apakah aku terlalu mengharapkannya sehingga merasa setengah jam seperti setahun? Kuputuskan untuk meneleponnya. Tapi yang kudengar hanyalah suara operator. HP-nya tidak aktif. Apa sebenarnya yang dia lakukan. Ataukah dia sengaja mematikan hape nya dan datang tiba-tiba untuk memberiku kejutan? Aku sungguh takut, terlalu takut untuk menghadapi situasi yang akan terjadi selanjutnya. Banyak hal-hal negative yang kini kubayangkan. Entah perasaan ini apa namanya firasat atau apa aku tak tahu. Yang kutahu sekarang aku hanya tak ingin cahayaku redup. Itu saja. Aku hanya berharap ini hanya perasaan karena aku terlalu mengharapkannya. Aku berharap ini hanya terjadi sesaat dan detik berikutnya dia telah berdiri di depanku. Menatapku dengan mesra, mengucapkan selamat ulang tahun dan mengecup keningku dengan begitu hangatnya. Tapi satu jam telah berlalu sejak waktu seharusnya dia ada di depanku dan mengecupku dan mengucapkan kata yang telah lama kutunggu. Akhirnya tak bisa kutahan tangis ini. Tangis yang mengalir seiring air hujan yang perlahan menetes membasahi pipiku. Hujan ini menambah kekhawatiranku terhadapnya. Gelegar petir membuatku menggigil. Tubuhku tergoncang dalam isak tangis kesendirian, kesepian dan harapan. Aku terlalu khawatir memikirkan menit-menit yang akan terjadi berikutnya antara aku dan dia. Sungguh perasaan ini menyiksaku. Mungkin ini yang namanya firasat. Firasat yang takkan mampu mengubah takdir. Firasat yang membuatku telah merasa kehilangan walau tak tahu siapa yang meninggalkan. Firasat yang hanya menginginkan dia untuk segera ada di hadapanku. Memelukku dalam rinai hujan. Cepat.!! Cepat, datang! Baru setelah sekian lamanya aku merasa kesepian, sendiri di bawah pohon dengan desaran angin yang dingin menusuk kulitku. Hangatnya lampu temaram tak lagi kurasakan. Bulan yang tadinya tampak terang kini kurasakan sungguh menyeramkan dengan awan-awan yang menutup kilau cahayanya Bintang-bintang tak lagi tampak bersanding dengan bulan. Lampu temaram mulai redup dan berkedip-kedip. Ranting-ranting pohon yang tadinya kurasa melindungiku, kini seakan ingin runtuh menimpaku. Kenapa firasat buruk ini terjadi di hari yang tadinya spesial bagiku.?! Tak lama akhirnya aku tahu. Tentang kenyataan takdirku dan dia. Tentang firasat yang tak mampu menentang kenyataan buruk. Aku jatuh. Seketika aku merasa semua gelap. Dan akhirnya samar-samar lampu temaram itu tak lagi bersinar, mati setelah seluruh kekuatannya memberikan cahaya padaku habis. Hujan yang deras dan petir telah mematikannya, justru di hari dimana aku akan melihat wajahnya, mendengarkan ucapan selamat ulang tahun darinya dan merasakan kecupannya di keningku. Suara gemerisik daun dan ranting pohon tak terdengar lagi. Semua diam, bisu. Semua tahu apa yang kurasa. Andai pohon dan lampu yang tadinya temaram itu hidup, mungkin mereka akan merengkuhku dan memelukku. Merasakan tiap isakan tangisku. Sungguh, seandainya waktu seperti file komputer, akan kuhapus waktu ini. Akan kuhapus hari ulang tahunku agar lampuku kembali bersinar dan ada di depanku, mengecupkan cahayanya di tiap-tiap sudut hatiku.
uatu saat, kekaguman pasti datang dalam diri kita.. datang tiba-tiba bagai gempa yang sulit dkira-kira namun, terkadang.. kekaguman membuat kita merasa bersalah atau disalahi seperti sang wijaya kusuma dalam kekagumannya dengan matahari entah salah atau bukan, tapi bagaimana mungkin ia kagum padda sang surya, jika yang bisa dia lihat hanyalah bulan? Bagaimana bisa sang matahari membalas kekagumannya dengan datang pada malam? Haruskah sang kembang merubah putaran sang waktu? Membuat siang jadi malam dan malam jadi siang...
sudahlah..! takdirlah yang membuat sang kembang terjaga kala malam dan lelap kala surya menjelang takdirlah yang membuat sang kembang dicintai banyak orang meski bukan oleh matahari namun, baiklah jika sang kembang hendak berharap tapi bukan berharap-harap atau bolehlah jika sang kembang ingin meminta tapi bukan meminta-minta karena apa yang tertulis, sulit untuk dihapus lagi.. hanya perlu tambahan agar menjadi sempurna.
Tahukah kamu,, Ada sesuatu yang ingin meletup.. Sesuatu yang seakan ingin keluar tapi tertahan.. Sesuatu yang saat ini sangat kubutuhkan.. Tak sanggup ku menahannya untuk terus di dalam.. Tahukah kamu,, Sesuatu itu sungguh menyiksaku.. Sesuatu itu bagaikan bom nuklir yang siap meledak kapan saja Bagaikan gunung merapi yang hendak meletus. Hendak meluapkan segala laharnya Namun, terhalang oleh batu-batu yang mengganjal..
Lahar-lahar ini membuat hatiku terus berguncang.. Aku butuh sesuatu..!!
Lalu, tanganmu merengkuh ku.. Memelukku.. Tubuhku lalu tergoncang.. Akhirnya gunung berapi itu pun meletus.. Mengeluarkan semua kerikil dan batu-batuan padas.. Akhirnya sesuatu itu keluar.. Setetes air mata yang ingin tertumpah Tapi tertahan.. Tetesan ini terus membanjiri pipiku.. Membentuk riak-riak sungai yang juga mengalir dalam tanganmu.. Lewat air ini,, kau dan aku menjadi satu.. Kau tak perlu bertanya dan aku tak perlu menjawab Kau tahu apa mauku Dan ku mengerti perasaanmu
Aku tahu,, Setelah ini semuanya selesai.. Dalam TANGIS..
Bunyi tiap riak airnya, menyejukkan dahagaku lalu kugeser sedikit daunku dan kuangkat ranting kecilku hanya untuk bisa melihat wajahnya, peluhnya meski dia segan berpaling menatapku tapi biarkanlah aku berharap, berharap untuk merasakan sentuhannya berharap untuk dipetik dan dimasukkan ke dalam keranjangnya sungguhpun aku heran... apa dia tak melihat bahwa aku sudah matang? Apa kulitku masih kurang ungu untuk dipetik? Tidakkah dia mengerti, aku sudah bosan disini? Hanya tinggal ulat-ulat di sekelilingku, tolonglah, ulat-ulat ini akan membunuhku.! Baiklah kawan, mungkin kau bertanya-tanya, siapa aku? Akulah sang anggur yang meski telah ranum buahnya, meski telah ada di depan matanya, tak kunjung juga aku dimasukkan dalam keranjangnya dan kini, setelah puluhan telur ulat itu di sekelilingku, akhirnya aku mengerti alasanmu tak memetikku karena aku bukanlah pohon anggurmu
Kutenteng keranjangku dan kuambil sebatang besi yang bengkok sebagai peralatanku. Kumelangkah meninggalkan gubukku menuju ke arah matahari itu. Panasnya kian membara tapi semangatku masih biasa saja. Kau tahu kenapa? Sebenarnya aku bertanya- tanya. Apakah benar, hakku untuk mendapatkan pendidikan adalah mustahil? Benarkah janji-janji orang atas itu? Benarkah di tahun 2009 ini akan ada sekolah gratis? Kenapa nasibku hanya berakhir di tumpukan sampah ini? Sampai kapan aku harus mengais smpah-sampah ini demi lima orang dalam gubuk reyot itu? Kalau kau ingin tahu kawan, inilah kisah hidupku. Seorang anak dekil yang hanya lulusan SMP. Bahkan nasibku pun tak lebih baik dari kucing rumahan yang setiap hari disuguhi ikan oleh majikannya. Ibuku telah tiada, sedangkan ayahku dan aku harus mati-matian mengais sampah dari pagi hingga sore demi pendidikan ketiga adikku. Pikirku, biarlah adik-adikku menikmati masa-masa sekolahnya, karena cepat atau lambat tak perlu diramalkan, nasibnya akan sama sepertiku. Mungkin kau berpikir bahwa aku kejam, tapi inilah hidup!
Pagi ini, giliranku untuk mengais sampah di sebelah gedung mulia itu, SMA Bakti Nusa. SMA ternama di kotaSemarang. Sebuah sekolah yang pernah menjadi impianku. Namun, akhirnya impianku malah hilang tertumpuk plastik dan kaleng-kaleng yang harus kukais. Aku melangkah ke sampipng gedung, berharap ada kertas-kertas semen atau apapun yang bisa menghasilkan uang. Dari samping gedung, aku bisa mendengar suara seseorang yang tak kalah mulianya, yang mereka panggil sebagai” guru”. Sepertinya menyenangkan sekali berada di sana, duduk dalam bangku yang bagaikan singgasana dan dikelilingi buku-buku dengan jutaan ilmu di dalamnya. Lalu, kuberanikan diriku melongok ke dalam ruang itu melalui sebuah jendela kecil. Sungguh, hatiku berdebar melihat mereka semua. Memakai seragam putih abu-abunya, mereka tampak gagah, berwibawa hingga pantas kusebut mereka sebagai “Sang Putih Abu-Abu.”
Tak lama kemudian kuketahui, bahawa mereka sedang belajar bahasa Indonesia. Mereka memanggil gurunya itu Pak Wiryo. Masih muda dan terlihat berpendidikan. Beliau punya kharisma yang membuat muridnya segan dan hormat padanya. Aku memang bukan muridnya, tapi aku bisa merasakannya! Hampir tak berkedip aku dibuatnya. Kata-katanya menggelegar, “Anak-anakku! Janganlah kalian hanya berdiam! Ruang kelas kalian adalah seluruh dunia! Jangan batasi ilmu kalian hanya dalam ruang sempit 8x8 ini! Jangan biarkan pagar-pagar ini membuat kalian terkurung dalam gelap, merangkaklah keluar dan pergilah ke ujung-ujung dunia! Taklukkanlah itu!” Sungguh,kata-katanya menjadi meriam bagiku, letupannya lebih besar dari bom bali atau letupan bom atom di kotaHiroshima sekalipun. Kini, aku merasa bisa menyaingi semangat sang matahari, aku tahu harapanku untuk terus belajar masih ada! Aku tahu, dunia masih menungguku untuk menaklukkannya!
Kini, setiap pagi aku kembali melangkah menyongsong sang matahari. Dengan semangat baru dan harapan baru. Aku merasa sebagai orang paling sibuk. Bangun pagi sebelum sang matahri terjaga. Aku rela menjadi kuli panggul di pasar pagi. Lalu, aku harus bersiap untuk mengintip pelajaran demi dunia yang masih menungguku. Siangnya, aku masih harus melanjutkan tugas lamaku. Mengais sampah demi sesuap nasi. Tapi sudahlah, aku sudah cukup puas. Meski aku tak berada dalam ruang mulia itu, meski aku tak memakai seragam putih abu-abu, tapi aku masih mampu untuk mendengarkan tiap kata-kata dan huruf-huruf yang mengalir dalam tiap waktu di ruang itu.
Untuk yang kesekian kalinya, aku kembali ke gedung mulia itu. Aku merasa semakin terbiasa dengan situasi ini, belajar dan bekerja. Aku masih bisa membantu ayahku tapi juga mencoba menaklukkan duniaku. Kembali kulongokkan kepalaku dari jendela kecil itu. Betapa meletupnya hatiku, pak Wiryo hadir kembali dalam ruang itu. Meriam apa lagi yang akan diletupkannya? Aku tak sabar menunggunya, tapi sungguh sial! Seekor kucing baru saja menggangguku hingga membuatku terjatuh, ”Bruuuk..!!” Aku menimpa tumpukan kaleng-kaleng di bawahku hingga terdengar bunyi keras. Kucoba berdiri dan kembali ke jendela kecil itu. Tapi saat kullihat ke dalam, ternyata semua mata telah memandang ke arahku! Aku sangat terkejut, apalagi saat Pak Wiryo datang ke arahku dan menyuruhku masuk. Bukan lewat jendela lagi, tapi pintu gerbang! Aku merasa sangat terhormat, tapi sekaligus canggung, bayangkan saja, seorang anak dengan baju compang-camping berani masuk ke dalam wilayah gedung mulia.
Setelah berputar-putar sebentar, aku menemukan ruang kelas Pak Wiryo. Ternyata beliau sudah menuggu kedatanganku. Setelah mengucapkan salam, ia mempersilakan aku masuk. Aku masih sangat canggung apalagi melihat tatapan ”para putih abu-abu” yang memandangku dengan jijik. Tapi Pak Wiryo menyadari itu dan mulai menghangatkan suasana. Ia bertanya padaku, kenapa aku ada di balik jendela itu. Aku katakan padanya, ”Saya sadar bahwa saya tidak dapat duduk di bangku kelas ini, jadi cukuplah saya mengintip ilmu-ilmu saya dari jendela itu. Saya hanya ingin menjalankan nasehat bapak, saya ingin menaklukan dunia!” seketika raut muka Pak Wiryo dan ”para putih abu-abu” berubah. Tersungging senyum di bibir mereka. Aku mendengar tepuk tangan salah satu dari mereka, lalu bertambah menjadi tiga hingga akhirnya seisi kelas memberiku standing applause. Aku tak menyangka seperti ini jadinya. Pak Wiryo langsung menyalamiku. Beliau memintaku untuk datang ke rumahnya sore ini.
Sungguh, meriam Pak Wiryo di sore ini tidak tanggung-tanggung. Bom ini terus meledakkan semangatku. Apalagi saat kudengar kata-kata yang membuncah hatiku. Pak Wiryo akan membiayai pendidikanku di SMA Bakti Nusa! Seragam putih abu-abu-nya dulu, kini ada di tanganku. Bagiku itu sebuah jubah kemuliaan, sudah lama kuimpikan dan sekarang akhirnya menjadi kenyataan. Sungguhpun, beliau bagai malaikat yang hadir dalam dunia modern ini.
Matahariku kini benar-benar bersinar kembali. Kutemukan hari-hariku dalam gedung mulia itu. Bukan dari jendela lagi, melainkan dalam ruang mulia dengan bangku sebagai singgasananya. Aku merasa bagai pesawat jet yang melesat dengan kecepatan maksimum, yang telah melewati lapisan-lapisan atmosfer dan hendak menuju ke bintang cita-citaku. Aku akan mengelana, menjelajahi sudut-sudut dunia dan menaklukkannya. Akan kupersembahkan ilmuku untuk Indonesiaku. Tak akan kubiarkan nasib anak-anak Indonesia di masa depan hanya berakhir di tumpukan sampah. Tak ada lagi anak pemulung yang mengintip dari jendela demi setetes ilmu dunia.
Akhirnya setahun sudah, aku duduk disini. Sudah kuketahui ilmu-ilmu yang dlu sama sekali tak terbaca olehku. Aku sudah tahu apa itu evolusi dan revolusi. Aku tahu kenapa atom-atom bisa bergabung membentuk molekul, lalu sel, jaringan dan seterusnya hingga terciptalah biosfer yang maha besar ini.
Besuk aku akan menerima hasil belajarku. Tunggulah ayahku, akan kutunjukan padamu nilai-nilai cemerlangku. Aku berjanji tak akan mengecewakanmu. Akan kubuktikan pada dunia ini, seorang pemulung juga bisa mengukir prestasi.
Sebentar lagi, ayahkku akan datang. Aku sudah menunggunya di depan gerbang sekolah demi sebuah senyum kebanggaan. Meski bajunya compang-camping, meski badannya bau matahari, meski yang ditentengnya keranjang sampah bukan tas-tas bermerk, tapi aku tak akan malu! Aku justru bangga, karena tak ada anak lain di sekolah ini yang juga seorang pemulung. Ingin sekali aku berteriak, ” Inilah kami, sebuah keluarga pemulung yang tidak punya apa-apa! Yang hanya punya impian! Tapi kami ingin bangkit, tak tahan kami terus diinjak-injak!”
Aku masih berdiri disini. Sinar matahari tak menyurutkan semangatku untuk menyambut Ayah di depan pintu gerbang. Tetes-tetes keringat mengucur dari pori-pori ku, tapi belum kulihat baju compang-camping atau keranjang samaph ayahku. Yang kulihat masih ibu-ibu dan bapak-bapak berbaju rapi yang menenteng tas-tas bermerk luar negeri. Akhirnya, kulihat juga seorang pria yang wajahnya menggambarkan garis-garis pengorbanan, tampak polos tapi juga memperlihatkan sebuah ketegaran. Tapi tak sesuai dugaanku, ayahku tak lagi memakai baju compang-campingnya! Tak dibawa juga keranjang sampahnya! Kali ini, khusus untuk menerima hasil belajarku, dia memakai kemeja! Meski lusuh, tapi inilah baju terbaik yang beliau miliki.
Ayahku yang ada di seberang jalan tampak tersenyum melihatku. Ayahku mulai melangkah, tapi... ”Oh, tidak!!” sebuah mobil dengan kecepatan sangat tinggi tiba-tiba saja muncul dan menabrak ayahku. Ayahku terpental jauh dari tempatnya berdiri tadi, tapi mobil itu terus saja lari. Aku ingin teriak dan berlari tapi tubuh ini seakan terkunci. Aku terjatuh lemas di depan gerbang memandang orang-orang yang mengerubuni tubuh lemas ayahku.
Ayahku meninggal di temapt. Pelakunya melarikan diri. Tak pernah aku berpikir, ayahku akan meninggalkanku tepat di depan mataku, saat terakhir kali ia tersenyum bangga padaku di hari bersejarah yang harusnya mengubah hidup kami. Kenapa Tuhan seakan tak rela memberikan kebahagiaanya untukku? Kenap aku hanya bisa melihat senyumnya dalam kemeja pinjaman yang pertama dan terakhir kalinya dipakai? Kenapa tak ada firasat atau pesan apa pun?
Sudah tiga hari, aku tidak masuk sekolah. Aku merenung memikirkan apa yang akan kulakukan tanpa ayahku. Hanya aku sendiri yang mampu menghidupi adik-adikku. Hari ini, akhirnya kudapatkan keputusan dan kusampaikan keputusanku ini pada teman-temanku juga guru muliaku, Pak Wiryo, ” Kalian pasti sudah tahu, ayahku meninggal. Tak ada lagi yang bisa menghasilkan uang di keluargaku kecuali aku. Aku tak bisa jika terus berada disini. Keluarga ku membutuhkanku. Kini, impianku akan kukubur lagi, maafkan aku dunia, aku tak bisa datang padamu. Maaf, setelah kau menungguku, aku malah berhenti dan berbalik mundur.” Lalu kusampaikan ucapan terimakasihku pada mereka semua, terutama Pak Wiryo yang telah melambungkan anganku meski aku menjatuhkannya kembali. Bagaimanapun, mereka telah berjasa besar bagiku. Aku menyalami mereka satu persatu. Lalu sampailah aku di depan Pak Wiryo. Aku memeluknya erat. Dalam setiap tetes air mata kami, ia sempat berpesan, ” Ingat, ruang kelasmu adalah seluruh dunia! Kau telah berhasil merangkak keluar, terbanglah! Karena dunia masih menunggumu, nak! Jangan putus asa, karena waktu terus berjalan dan kau tak bisa tinggal diam!”
Kembali, kata-kata Pak Wiryo mengubah semangatku. Jasanya tak akan kulupakan. Sungguh, berat rasanya meningalkan ruang-ruang dalam gedung mulia ini, meninggalkan sang putih abu-abu dan bangku singgasana ku. Namun, hidupku yang baru harus kutempuh. Aku akan mencari kota yang lebih kecil, yang lebih murah untuk kami berempat. Aku harus menamatkan pendidikan adik-adikku setinggi mungkin. Kini aku sadar, aku tak boleh membiarkan nasib mereka persis sepertiku. Ini tanggung jawabku! Kata-kata Pak Wiryo membuatku bersyukur pada Tuhan. Aku salah mengira bahwa Tuah tak rela memberiku kebahagiaan. Aku tahu, Tuhan punya rencana. Kebahagiaanku akan tiba di tengah-tengah kesehidhan ini, karena aku akan lebih merasakan nikmatnya.
Kini, kumulai membuka lembaran baru hidupku. Entah sampai berapa halaman. Tapi yang jelas, akan kukatakan pada dunia,” Dunia, sambutlah aku, Amir Aminudin! Baik sebagai pemulung atau kuli panggul! Aku tak akan timggal diam, karena waktu terus berjalan! Aku tahu, engkau masih menungguku.!”
buat temen2 cmw nya.. lam kenal ja ya.. q ganesh dari Ambarawa, aku d'bieterz sejati lho,. di blog ini ada banyak informasi soal obiet juga kumpulan puisi dan cerpen xan juga boleh download lagu2 obiet dari sini,.. sering-sering ya ke blog q..!! Lagi..Lagi..Lagi....LAaagiiii.......
Kain putih pertanda berita duka menghiasi halaman rumahku. Saat itu aku belum mengerti apa yang terjadi. Tapi setelah aku beranjak remaja, aku tahu bahwa saat itulah ibuku meninggal. Perjuangannya untuk melahirkan adikku berakibat pada kematiannya sendiri. Sembilan bulan mengandung adikku, ibu gunakan untuk bekerja keras membantu ayah bekerja. Hal inilah yangmengakibatkan kandungan ibu tidak sehat. Ketika itu, keadaan ekonomi kami sangat sulit. Ayah baru saja di-PHK dari pabriknya. Untuk mencari pekerjaan di wilayah pinggiran kota seperti ini bukanlah hal yang mudah. Untung saja masih ada orang baik yang mau membantu kami, ayahku diminta untuk menjadi buruh tani. Memang, gajinya tak seberapa tapi cukuplah untuk makan kami bertiga saat itu.
Ibu melahirkan adikku dibantu oleh penduduk sekitar, tanpa bidan, dokter ataupun perawat. Penanganan medis yang kurang membuat ibuku tak sanggup bertahan. Adikku lahir dan terlihat normal. Hari demi hari berlalu, hingga tiga tahun adikku hidup di dunia ini. Aku dan ayahku heran, adikku belum bisa bicara juga... Hingga usianya 5 tahun, ayah melihat keanehan di wajah adikku. Ayah menyadari adikku mengalami cacat mental. Bicaranya kurang jelas, dia tak bisa berpikir normal seperti anak lain. Saat anak-anak seusianya sudah bisa mengenal namanya sendiri, adikku belum bisa mengucapkan satu patah kata pun dengan jelas. Tuhan menunjukkan kuasanya pada keluarga kami. Tuhan memang murah hati tapi kadang juga tidak adil.
Ayah memutuskan untuk menyekolahkan adikku pada usianya yang ketujuh. Adikku bersekolah di suatu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang sebenarnya tidak terlalu bagus.Maklum, kami orang yang tidak mampu, bisa sekolah pun sudah sangat beruntung. Sedangkan aku, aku hanya sekolah di SMP negeri kampung yang dekat dengan rumahku. Aku tidak terlalu pintar memang, tapi aku sudah beruntung karena selama ini tidak ada mata pelajaran yang tidak tuntas.
Ayah memberinya nama Nurmi. Sama dengan nama Ibuku. Nurmi adalah malaikat bagiku, karena dia adalah pengganti ibuku yang mungkin sudah ada di sisi malaikat di surga. Aku sangat sayang Nurmi. Tapi, menurutku Nurmi tidak mau menyayangiku. Apapun yang terjadi dia hanya ingin hidup dengan ayah. Kemanapun dia pergi ia selalu minta ayah untuk mengantar atau menemaninya. Setiap pagi, ayah mengantarnya pergi ke sekolah. Keduanya bergandengan tangan mengarungi indahnya pagi di tengah kekelaman hidup. Kadang, Nurmi meminta ayah menggendongnya. Tubuh ayah yang kecil tergopoh-gopoh, bersusah payah memanjakan putrinya. Sesampai di sekolah, Nurmi dipasrahkan pada seorang guru, sementara itu ayah pergi mencari makan untuk kami sekeluarga di sawah. Sepulang sekolah, adalah tugas ayah juga untuk menjemput Nurmi. Kadang Nurmi diajak Ayah ke sawah. Tubuh kecil Nurmi berlarian mengejar capung bersiluet langit sore. Ia tertawa lepas, begitu bebasnya ia menghadapi hidup. Mungkin Nurmi tak mengerti hidupnya sendiri. Ia bebas, tapi sebetulnya terkekang dalam tubuhnya yang kurang sempurna.Dari wajahnya, aku melihat suatu kepolosan dari Nurmi, ia seakan tak punya dosa sedikitpun. Jika, melihat wajahnya, orang malah merasa berdosa, berdosa karena tidak mensyukuri hidup yang sebetulnya indah.
Nurmi sangat takut pada hujan. Aku sendiri tidak tahu kenapa, mungkin dia ingat bahwa dia lahir ketika hujan turun dan ketika itulah ibuku meninggal. Pernah, sepulang sekolah, hujan lebat mengguyur kampung kami termasuk sekolah Nurmi. Ayah kebingungan sendiri. Saat itu ayah masih di sawah. Lalu, Ia berlarian di tengah hujan menyusul Nurmi ke sekolah. Nurmi terpojok di dinding sekolah yang sudah tua, tak berdaya. Ia menutup telinganya, menangis ketakutan. Tinggal, Nurmi sendiri yang disana. Mungkin, kalau aku disana aku akan ikut menangis, aku tak tega. Ayah langsung merangkul Nurmi. Dengan membawa payung tua, yang kerangkanya pun sudah tak karuan Ayah tertatih-tatih menggendong Nurmi. Aku menunggu mereka di depan rumah. Aku mellihat Nurmi masih menangis terisak-isak. Aku kasihan pada Ayah juga pada Nurmi, sungguh kasihan. Aku berlari menjemput mereka, ingin kugantikan Ayah. Tapi Nurmi tidak mau. Ayah tetap berjalan sambil bersenandung untuk menenangkan Nurmi. Aku sungguh bangga pada Ayahku sendiri. Ia begitu gigih, terlihat sangat tegar walau raganya begitu rapuh.
Ayah selalu menemani Nurmi tidur. Ayah bersenandung walau suaranya sedikit parau. Tiupan angin malam menjadi musik lain pengiring senandung Ayah. Suara kayu berdecit dari rumah kami yang reyot ini juga turut menyumbangkan senandungnya demi menidurkan Nurmi. Kadang, Ayah mendongengkan sebuah cerita untuk Nurmi. Meski, hanya satu cerita yang ia dongengkan— Kancil Mencuri Timun. Nurmi tak pernah bosan mungkin bisa dibilang ia tak bisa mengerti dongeng Ayah. Tapi, Nurmi selalu tertidur pulas setelah ia mendengar dongeng Ayah. Aku tertegun, terhenyak untuk sesaat...dadaku sesak. Aku tak pernah melakukan apapu untuk mereka berdua. Mereka berdua adaah pahlawanku, yang menyadarkanku tentang arti hidup. Mereka yang selalu menemaniku walau aku tak menyadarinya.
Malam ini, senandung itu tak terdengar lagi. Senandung itu berubah jadi rintihan yang menyakitkan, menyedihkan dan mencekam. Nurmi sudah tidur, tapi aku belum, aku tak bisa. Rintihan Ayah mengusik tidurku, aku tak tenang. Ayah terus batuk dan mengeluh kesakitan. Aku sendiri tak tahu apa yang harus kulakukan, tak mungkin malam-malam begini kubawa ayahku ke puskesmas atau rumah sakit. Aku akan bayar pakai apa?
Esoknya, aku menceritakan kondisi Ayah pada tetanggaku, untunglah dia sudi menolong Ayahku dan meminjami kami uang untuk biaya kesembuhan Ayah. Akhirnya Ayah dibawa ke rumah sakit. Seorang wanita berbaju serba putih mendatangiku, ia mengatakan bahwa Ayah terkena TBC. Keadaan Ayah sudah sangat parah, aku yakin, pasti butuh obat yang sangat banyak dan mahal untuk menyembuhkannya. Hari ini aku dan Nurmi tidak berangkat ke sekolah, khusus untuk menemani Ayah. Nurmi terus berada di samping Ayah dan memeluknya, seakan dia tidak mau Ayah pergi.
Sekali lagi, kulihat wajah ayah yang masih terpejam matanya. Yang tampak hanya ketegaran. Lalu, perlahan dia membuka matanya. Aku lega, akhirnya Ayah sadar juga. Ia memandang Nurmi dan aku yang ada disampingnya. Ayah tersenyum, seakan dia bangga padaku dan Nurmi. Padahal, aku sendiri tak tahu apa yang telah aku lakukan untuk keluarga kami. Ia terlihat tenang, dan matanya kembali terpejam. Nafas yang lembut terhembus dari hidungnya, ini adalah nafas terakhirnya! Aku berlarian, mencari dokter, perawat atau siapapun yang bisa membantu ayah kembali, tapi takdir Tuhan telah berlaku. Kini, aku telah menjadi anak yatim piatu. Nurmi terus bertanya padaku, kenapa ayah tak lekas bangun. Aku tertegun, tak tahu apa yang harus aku katakan.
Jenazah Ayah dibaringkan di ruang tengah rumahku. Kejadian 9 tahun lalu, terulang lagi. Hanya bedanya kini ada Nurmi yang ikut menangis di sampingku. Aku melihat kesedihan dan kekecewaan di mata Nurmi. Entah dia mengerti atau tidak apa yang terjadi pada Ayah.
Air mataku sudah habis karena terus menangis, tapi kesedihanku belum reda. Aku merasa aku terpojok sendiri, aku sudah tak punya siapa-siapa. Aku tak tahu harus bergantung pada siapa. Aku sudah tak punya sandaran lagi. Aku masih belum bisa berpikir, apa yang akan kulakukan di hari esok. Siapa yang akan bekerja, siapa yang akan mencari uang untuk aku dan Nurmi? Hanya aku yang bisa digantungkan, tapi aku bisa apa? Lulus SMP pun belum, apa keahllian yang aku punya?
Hari berikutnya, aku masih terlalu lelah untuk berpikir bahkan untuk bermimpi. Uang yang kami punya hanya cukup untuk dua hari ke depan, lalu apa yang akan kami makan tiga hari mendatang? Tidak ada yang bisa menolongku lagi. Semua yang ada di dunia serasa tak memihakku, suara kicau burung pagi pun bagai burung gagak pencabut nyawa.
Hari kedua, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sekolah, aku akan bekerja apa saja. Aku relakan sekolahku, walau tiga bulan lagi aku menempuh ujian akhir sekolah. Nurmi juga tidak sekolah.Aku pikir percuma ia sekolah, karna gurunya hanya menerima gaji tanpa memberi ilmu apapun. Tak ada perubahan yang berarti pada Nurmi meski ia sudah sekolah. Aku akan coba mengasuhnya sendiri karna sekarang Nurmi sudah mau ikut denganku. Perlahan dia tidak menanyakan ayah lagi.
Kini, hari ketiga, terpojoklah aku dan Nurmi disini. Kami berdua benar-benar terlihat tak berdaya. Kami menengadahkan tangan kami untuk meminta belas kasihan pada orang yang lewat. Kadang, ada yang begitu kasihan melihat Nurmi dan memberi kami seribu rupiah. Tapi, ada juga yang lewat begitu saja memalingkan matanya. Ya, kami berdua kini hanyalah pengemis! Memang, aku bukanlah kakak yang baik untuk Nurmi. Aku bodoh, tak menyekolahkannya dan malah menyuruhnya menjadi pengemis. Tapi apa dayaku, aku tak mampu melakukan apapun. Kadang, aku kecewa pada diriku sendiri. Tiga hari yang lalu, ayah memandangku dengan bangga. Tapi, apa kini balasanku, aku malah memperburuk keadaan. Aku hanya bisa berjanji untuk selalu melindungi Nurmi. Aku masih menyayanginya, dia masih malaikat tak bersayapku. Kini, aku yang menyanyikan senandung untuknya agar dia bisa tertidur pulas. Kini, aku yang akan menenangkannya saat hujan turun. Aku akan menggendongnya dan merangkulnya di tengah deras hujan. Suatu saat Nurmi bertanya padaku dengan terbata-bata,”Ma..ma...na.. Ba..ba...pak?” Lalu, akubilang bahwa Ayah sedang menemani ibuku. Ayah sedang bersenandung indah untuk ibu. Nurmi tersenyum dan kembali hidup bebas. Aku hanya ingin membuat Nurmi bahagia, biarkan dia menikmati masa kecilnya, mengejar capung, mengejar mimpi-mimpinya. Aku akan terus membelanya, walau kadang anak kecil lain malah mencelanya.
Hari ini, seperti yang sudah-sudah, aku selalu duduk terdiam di sini. Di tengah hampDygtan hijau rumput yang luas. Memandang langit biru tuk yang kesekian kali. Memandang pelangi tuk melupakan kerinduan di hati. Ya, di sinilah aku bertemu cinta pertamaku dan kehilangan dirinya sampai entah kapan.
Taman ini tak begitu luas, tapi indah. Bunga-bunganya disusun rapi. Rumputnya yang hijau dan rapi meperlihatkan bahwa pemilik taman ini merawatnya dengan teliti. Di tengah taman, ada kolam kecil dengan air mancur sederhana. Tapi, disinilah pusat daya tarik taman ini bagiku. Hampir setiap sore aku memandang matahari terbenam dari kolam ini. Kalau musim hujan tiba, pelangilah yang kutunggu. Aku bisa memandang pantulan keindahan ini dari riak-riak air kolam. Dari sinilah aku belajar. Belajar tentang cinta dari pelangi. Tahukah kawan, pelangi berhubungan dengan cinta, cinta bagaikan pelangi. Pelangi berasal dari dua unsur berbeda, air dan cahaya, seperti cinta yang berasal dari dua ciptaan Tuhan yang berbeda. Karena Tuhanlah, mereka bisa bersatu. Cinta mereka menciptakan keindahan seperti pelangi. Inilah kisah cintaku, Tuhan menghendaki aku bertemu cahaya itu, hingga aku menemukan warna-warna hidupku, tapi kemudian dia memisahkan ku darinya.
Langit sore menyemburatkan sinar-sinar matahari dengan lembut, kunikmati indahnya sore itu dengan melukisnya di atas kertas putih. Inilah yang sering kulakukan dan yang hanya bisa kulakukan. Aku bukanlah gadis sempurna, kawan. Kalau kau melihatku sekilas aku seperti gadis kebanyakan. Rambutku yang panjang berombak kubiarkan tergurai menutupi bahuku. Kaki dan tanganku juga berfungsi layaknya manusia biasa. Mataku bisa melihat dan telingaku bisa mendengar apa kata dunia. Tapi, aku tak bisa mengatakan pada dunia bagaimana perasaanku saat ini. Dari kecil Tuhan tak memberikan suara padaku. Ibuku pernah menjelaskan mengapa hal ini terjadi, tapi aku tak mengerti saat itu, dan sekarang aku tak mau mengerti mengapa hal ini terjadi. Aku hanya ingin hidup bebas tanpa beban. Ingin menikmati sari-sari hidup. Aku tak mau marah pada Tuhan, ibuku atau siapapun. Ini bukan salah siapa-siapa. Inilahtakdir, kawan. Tuhan selalu mengatur segalanya dengan baik adanya.
Walaupun Tuhan menyembunyikan suaraku, tapi Tuhan tidak menyembunyikan talentaku. Aku memang tak bisa berkata-kata, tapi tanganku lah yang akan berkata-kata. Ya, tuhan meemberiku bakat untuk melukis. Lukisankulah yang menggambarkan kata-kata hatiku. Seandainya, mereka bisa bicara, engkau akan tahu perasaanku sekarang ini.
Langit cerah itu tiba-tiba tertutup oleh kabut hitam. Awan kumulus nimbus sebagai pertanda akan turun hujan. Segera aku berlari mencari pohon untuk berteduh. Kumpulan kertas-kertas gambarku kubawa tak karuan. Kulihat sebuah pohon yang cukup besar untuk berteduh. Aku berlari dan,...”Aduh!”, kudengar suara anak laki-laki. Karena panik, aku tak melihat ada anak laki-laki yang berlawanan arah dariku dan berlari menuju pohon yang sama denganku. Aku menubruknya, atau bisa dibilang dia menubrukku. Kertas-kertas gambarku berjatuhan. Aku segera mengambilnya, karena takut basah. Aku berpaling ke arah anak laki-laki itu. Dari wajahnya, ia seumuran denganku 14 tahun. Ia juga sedang memungut kertas-kertas miliknya yang tadi jatuh. Aku merasa tak enak. Aku ingin minta maaf, tapi bagaimana caranya? Jadi, aku hanya memandanginya. Mungkin, dia sadar akan hal ini dan memandangku. Ia tersenyum, bukan hanya bibirnya tapi juga matanya. Aku merasa tersihir, seolah aku melihat pelangi di matanya. Waktu terasa berhenti berdetak. Ia memandangku dan aku memandangnya. Aku merasa tergetar tuk waktu yang sedemikian lama. Semilir angin menghembuskan nafasnya dan menyadarkanku setelah sekian lamanya. Aku membalas senyumnya, dan dia mulai bicara. ”Maaf, ya!” itulah kata pertamanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu ia mengulurkan tangannya, dan meyebutkan namanya. Dygta, ya Dygta itulah namanya. Ia tetap mengulurkan tangannya dan menanyakan namaku. Ooh Tuhan, bagaimna aku menjawabnya. Hatiku bergetar, tapi juga melonjak-lonjak. Aku bingung, bahkan untuk mengulurkan tangan pun aku tak bisa, aku hanya berdiri mematung dan diam. Mungkin, inilah yang dinamakan orang demam cinta pertama pada pandangan pertama tepatnya. Ia menarik mundur tangannya dan kembali tersenyum. Lalu kami berdua duduk bersandar di pohon besar itu menunggu hujan reda. Ia mulai memecah kesunyian dengan menceritakan siapa dirinya. Ternyata, dugaanku benar ia memang seumuran denganku. Kertas-kertasnya tadi adalah puisi-puisi ciptaannya. Baru beberapa menit bersama Dygta aku sudah merasa begitu dekat dengannya. Pertemuan kami hanya seperti cerita monolog, Dygta terus bercerita dan aku terus mendengarkannya. Heran memang, ia tidak menanyakan kenapa aku terus diam, seakan dia tahu aku adalah gadis bisu.
Hujan turun tak begitu lama. Aku sudah berdiri bersiap untuk pulang ke rumahku. Tapi, langkahku terhenti. Aku melihat pelangi menyemburatkan sinarnya dengan anggun. Sungguh romantis. Aku jadi ingat filosofi cinta yang kubuat sendiri. Aku terdiam terpaku, Dygta juga berdiri dan melihat pelangi itu. Ia tersenyum, dan berkata, ”Pelangi berhubungan dengan cinta...”. Aku terkejut, dia seakan bisa membaca pikiranku. Rencana Tuhan memang tak pernah bisa diduga. Lalu ia melanjutkan ceritanya, sama persis seperti ceritaku. Ingin, kukatakan pada Dygta aku juga punya cerita seperti itu, tapi bagaimana caranya? Jadi, sekali lagi aku hanya tersenyum dan memandang takjub pada kedua pelangi di matanya.
Dygta telah mengganggu tidurku. Ia memberikan kerinduan mendalam di hatiku. Kini, dialah yang menghiasi mimpiku. Sore berikutnya aku kembali ke taman itu, berharap bisa bertemu lagi dengan Dygta. Aku terduduk di kolam dan berkhayal tentangnya. Aku mulai menggerakkan ujung pensilku dan melukis wajah pemilik mata pelangi itu. Andaikan gambar-gambar ini bisa bicara, dan mengungkapkan perasaanku saat ini, kuharap Dygta bisa mengerti betapa aku merindukannya. Tiba-tiba sesosok manusia datang dan mengambil gambarku. Aku terkejut, tapi ternyata dia Dygta. Dia tertawa lalu terdiam mengamati sketsa lukisanku. Aku merasa sedikit malu, tapi wajahnya yang jenaka dan sok serius itu menghilangkan semua rasa canggungku. Aku lalu berdiri dan merebut kembali lukisanku. Ia memandangku, aku menaikkan alisku sebagai isyarat untuk mengetahui bagaimana pendapatnya tentang lukisanku. Ia terlihat murung, aku sedikit was-was dan akhirnya ia berkata,” Ehm, wajahku terlihat lebih manis di lukisanmu...” lalu dia tertawa. Aku pun tersenyum.
Hari-hari berikutnya, dialah yang ada dalam benakku. Hampir setiap sore kami bertemu. Aku merasa ada cinta di antara kami. Tapi, cinta ini cinta bisu. Tak ada yang saling mengungkapkan. Ingin sekali kukatakan padanya, apakah kau tak mengerti bahwa kau telah membuat hatiku gundah, Dygta. Apa kau tak mengerti bahwa kau telah mengganggu hatiku sekaligus mewarnai pelangi jiwaku yang dulu semu? Tapi, apakah kau juga mengganggapku sama?
Saat-saat bersama Dygta adalah saat untuk menikmati hidup. Kadang, ia memperlihatkan puisi-puisinya padaku. Suatu saat ia menanyakan pendapatku tentang puisinya, aku hanya mengangguk dan tersenyum, ia pun membalas senyumku dengan bahagia. Entah kenapa, aku merasa tenang di dekat Dygta. Ia adalah sosok yang polos dan menyenangkan. Aku merasa penuh percaya diri dan bebas bersamanya. Dia tak pernah mempermasalahkan ketidaknormalanku. Aku merasa mendapat perhatian darinya. Ia pernah membuat puisi untukku dan saat itulah pertama kali ia menyebut namaku, padahal aku tak pernah memberitahu siapa namaku padanya. Entah bagaimana dia tahu.
Sore ini aku kembali ke taman itu. Kunikmati pemandangan sore hari dan mulai melukis. Kugambarkan dua bocah remaja di tengah hamparan rumput hijau yang sejuk berlatar langit sore yang indah. Ingin kutunjukkan gambar ini begitu Dygta datang nanti. Aku menunggu, lama.... Dygta tak datang juga. Aku pulang, dan kembali ke taman ini hari berikutnya. Aku masih belum bertemu Dygta, sungguh tak biasa. Hari ke empat, dan aku kembali menunggunya. Saat aku duduk di pinggir kolam seperti biasanya, aku melihat amplop biru bertuliskan namaku. Aku membacanya,
Kujejakkan kakiku di hijau rumput ini
Kucari tempat tersembunyi,
Hanya untuk melihat wajahmu
Aku mengenalmu lebih dari yang kau tahu
Meski kau tak tahu bahwa aku mengagumimu
Tidurku tak lagi nyenyak,
Karena bayangmu yang ada di kepalaku
Bunga-bunga hatiku bermekaran
Karna sejuk siraman airmu
Cinta kita kosong tapi berwarna
Cinta kita bisu tapi penuh arti
Cinta kita bagai pelangi yang lalu pergi
Tapi kau harus yakin cinta kita takkan terikat waktu
Aku ingin kau menungguku pulang
Karena aku pergi, untuk kembali....
Inilah puisi Dygta untukku. Ia pergi dan aku harus menunggunya. Entah kapan, akan kulihat pelangi di matanya yang membuat hatiku bergetar tuk sekian lamanya. Aku tak menyangka ia telah mengenalku jauh sebelum aku mengenalnya. Ia pergi sebelum aku mengatakan perasaanku padanya. Seandainya, gambar itu bisa bicara, kau akan tahu bahwa aku bahagia karenamu, Dygta. Kepergianmu meninggalkan kekosongan di hatiku. Aku kecewa, kau telah memberikan racun padaku. Tapi, puisimu adalah penawar bisamu. Puisimu meyakinkanku akan cintamu, akan pelangi hidupku. Aku tahu, kau akan kembali. Aku merasa beruntung, telah menemukanmu, dan aku beruntung karena aku punya cinta pertama yang takkan pernah terlupakan. Kini, aku kembali di bawah pohon tempat kita pertama bertemu untuk menunggumu. Aku akan tetap menjadi air dan kau cahayanya. Kita akan menciptakan pelangi yang lebih indah dari pelangi manapun, karna kau adalah takdirku, Dygta.
Tau idola cilik 2 di RCTI kan ??? dari 14 finalis ada 1 yg bener2 menyita perhatianku ... ini dia obiet!!! dengan suaranya yg tenang menghanyutkan dan rajanya improvisasi ini, para d'bieterz ga prnah lupa dan selalu merindukannya..
Obiet adalah salah satu kontestan dari Yogyakarta selain Agni dan Cakka. Meskipun wakil dari Yogyakarta tapi Obiet tinggal di Kertosari, Temanggung. Anak dari Ayah Tatas dan Bunda Prima ini lahir tgl 16 Juli 1998. Obiet namanya, mengandung arti: Penuh daya cipta dan Menerima dengan sepenuh hati. MUngkin arti namanya memang benar, terbukti Obiet selalu tersenyum meskipun dia harus keluar dari idola cilik dan menjadi juara keempat. Kegagalannya lolos ke tiga besar, membuat para D’bieterz sangat kecewa. Tak lama setelah K’Oki mengumumkan siapa yg hrs tinggal kelas(TK), blog For Obiet Panggrahito langsung ramai. Tak kurang dari 42 d’bieterz langsung OL dan berkomentar untuk menyampaikan uneg-uneg nya… Tapi, tak lama setelah itu, kami para d’blieterz sadar bahwa kami harus menerima dan bersyukur atas apa yg terjadi seperti yang selalu dikatakan oleh obiet dan keluarganya.
Kata-kata Obiet dan sikapnya yang selalu memberi inspirasi semakin membuat banyak orang menyayanginya termasuk juri IC2 Mama Ira. Saat Obiet TK pun Mama Ira sempat menangis, Karena obiet memang menjadi idola para Juri terutama Om Duta. Obiet selalu mendapat komentar positif dari para juri. Penampilannya tak pernah mengecewakan dan selalu membuat para penggemarnya menunggu penampilannya, Lagi..Lagi..Lagi....Laaaggiiii... seperti yel-yel yang selalu obiet sampaikan.
Penampilan Obiet yang tak pernah kulupakan adalah saat Obiet menyanyi lagu Aku bertahan (Rio Febrian), lagu ini adalah lagu terakhir yang dinyanyikan solo oleh Obiet di panggung IC2. Lagu ini benar-benar menggambarkan perasaan Obiet saat tersisih.. lihat saja liriknya sangat mirip..
Namun, keluarnya Obiet telah memberi banyak ilham, para d’bieterz semakin dekat satu sama lain termasuk dengan keluarga Obiet. Sampai ada beberapa d’bieterz yang membuat fansite Dek Ben Comunity.. Dek Ben adalah adik Obiet yang juga sama imutnya.. Keluarga Obiet yg sangat ”Welcome” membuat d’bieterz semakin menyayanginya, tidak hanya Obiet tapi sekeluarga..
pengen lagu2 obiet???? ini dia, aku sediakan beberapa lagu yg paling bagus dinyanyiin ma obiet..